REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (UIN Maliki) secara tegas melarang tumbuhnya gerakan-gerakan ekstrem di kampus. Rektor UIN Maliki, Prof Dr Mudjia Rahardjo, menuturkan kebijakan ini dimaksudkan untuk mengerem gerakan radikal yang akhir-akhir ini tumbuh subur di lembaga pendidikan.
Ia menyebut gerakan radikal telah tumbuh dan berkembang di lembaga pendidikan tinggi baik umum maupun keagamaan. "Segala simbol ekstremisme kami larang, seperti yang dibungkus dalam bentuk diskusi atau cara berbusana sehari-hari seperti mengenakan cadar dilarang di sini," kata Mudjia saat ditemui Republika.co.id, Jumat (5/5).
Sejumlah tindakan pun telah dilakukan kampus UIN Maliki dalam menyaring ideologi yang akan memasuki kampus. Bulan lalu, UIN Maliki melarang diskusi nasional mengenai sistem khilafah yang akan diselenggarakan di fasilitas milik kampus. "Golongan yang ingin menggeser Pancasila sebagai dasar negara kok malah menggunakan fasilitas negara untuk kegiatannya, 'kan lucu itu," ungkapnya.
Demikian pula ketika ada seorang dosen yang menolak hormat kepada bendera merah putih, kampus segera menindaklanjutinya. "Kami tanya kepada yang bersangkutan apakah masih ingin mengabdi kepada lembaga pendidikan negara? Jika masih ingin maka sikap tidak mau hormat kepada bendera harus dihilangkan," ujar Mudjia.
Menurutnya, golongan yang ingin menggeser Pancasila tidak menyadari bahwa Indonesia dibangun oleh founding father dengan alas kemajemukan. Para founding father menyusun Pancasila sebagai dasar negara yang mewadahi semua suku, agama, dan ras yang ada di Indonesia.
Maka, sangat tidak layak apabila ada 'ideologi impor' yang tiba-tiba masuk ke Tanah Air dan mengacak-acak tatanan negara yang sudah susah payah dibangun. Ia menambahkan, kondisi Indonesia rentan perpecahan secara geografis karena wilayahnya terpisah-pisah antar pulau.
Dari segi budaya, Indonesia juga rentan terpecah belah karena terdiri atas berbagai macam suku, agama, dan ras. "Jika tidak dibentengi oleh seluruh komponen, bangsa ini bisa hancur. Maka sejak TK sampai perguruan tinggi perlu diajarkan mengenai makna kebhinekaan dan toleransi," ujar Mudjia.