REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf mengatakan, aksi simpatik 55 adalah gambaran perasaan dan kecemasan masyarakat yang diekspresikan dari kekhawatiran adanya ketidakadilan dalam penegakkan hukum. Hal itu terkait kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
“Pelaku aksi ini ingin menggambarkan kekhawatiran, terluka hatinya, penegak hukum nangkep gak sih ekspresi perasaan itu?” kata Warlan saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (5/5).
Warlan menilai aksi simpatik 55 bukanlah untuk menekan penegak hukum dalam menetapkan keputusan. Namun, kata dia, aksi tersebut sangat menggambarkan ekspresi kecewa terhadap tuntutan jaksa beberapa waktu lalu yang dinilai tidak membela masyarakat.
Warlan menegaskan, aksi simpatik 55 jangan lagi dibaca sebagai tekanan, ancaman, atau intimidasi pada peradilan. “Gini deh, coba kalau ada anak yang ngambek sama orang tua. Ekspresinya kan ngunci dikamar, tidak mau makan, tidak mau sekolah misal, itukan bukan tekanan pada orang tua, karena tidak boleh menekan orang tua. Itu hanya menggabarkan perasaan kekecewaan, sama halnya aksi ini,” jelas Warlan.
Dia berharap, para penegak hukum dan pemerintah bisa menangkap sinyal dari ekspresi masyarakat Islam tersebut. Sehingga, teags Warlan, hukum bisa berjalan sesuai dengan Undang-undang, dan hakim dapat menunjukkan keindependensian dan keadilan dalam penegakkan hukum.
“Kita tunggu saja. Kalau menangkap kekhawatiran umat, pasti akan menuntut seadil-adilnya, kalau tidak ya sudah hakim tidak sensitif dengan perasaan umat islam pada umumnya berarti,” jelas Warlan.
Baca juga, Ini Seruan Aa Gym untuk Aksi Simpatik 55 di Istiqlal Besok.