REPUBLIKA.CO.ID, THANGSAN -- Di sebuah toko kecil di luar gerbang Pabrik Baja dan Besi Tangshan di Thangsan, Cina, Wang Jin Bo duduk di bangku plastik berwarna merah. Ia adalah seorang buruh yang bekerja di pabrik baja tersebut.
Rutinitasnya di pabrik terbilang cukup melelahkan dan berbahaya. Sehari-harinya Wang harus memurnikan baja cair dan memasukkannya ke dalam billet dengan suhu di atas 120 derajat Fahrenheit. Kendati berbahaya, namun upah pekerjaannya cukup lumayan dan bonus atau insentifnya dapat diandalkan untuk menopang nafkah keluarga.
Tapi dalam beberapa tahun terkahir, sejumlah pabrik baja dan besi di Thangsan mulai ditutup dan beberapa di antaranya dipindahkan. Rekan-rekan Wang juga sudah cukup banyak yang diberhentikan dari pekerjaan. Namun Wang yakin, pabrik tempat dirinya bekerja saat ini akan bertahan dan tidak akan ditutup. Dengan demikian, ia akan tetap bisa mencari nafkah untuk keluarganya.
Thangsan merupakan pusat industri berat dan pembakaran batu bara di Cina. Di kota ini, pabrik-pabrik memproduksi semen, bahan kimia, dan lebih dari lima persen baja dunia. Tak ayal Thangsan menempati posisi keenam sebagai kota terpolusi di Cina.
Saat ini polusi udara telah menjadi salah satu permasalahan yang cukup menyita konsentrasi Cina. Sekitar 1,1 juta warga Cina tewas setiap tahunnya akibat pencemaran dan polusi udara.
Dilaporkan laman National Geographic, Negeri Tirai Bambu memang menjadi penghasil emisi gas rumah kaca dengan pemanasan paling besar di dunia. Tak mengherankan bila terdapat sekitar satu juta orang setiap tahunnya yang harus tewas akibat polusi udara di negara tersebut.
Tiga tahun lalu, di kongres tahunan Partai Komunis Cina, Perdana Menteri Cina Li Keqiang mengumumkan perang melawan polusi dan pencemaran udara. Pada kongres partai tahun lalu, ia menyatakan hal serupa dan berjanji akan membuat langit Cina menjadi biru kembali.
Salah satu strategi Li adalah mengurangi produksi baja dan listrik berbahan bakar batu bara. Strategi ini diterapkan di pabrik-pabrik di Thangsan dan di kota lainnya.
Pada Maret lalu, Cina telah mengumumkan penutupan atau pembatalan 103 pembangkit listrik tenaga batu bara yang mampu menghasilkan daya 50 gigawatt. Cina juga disebut akan mengurangi kapasitas produksi baja sebesar 50 juta ton.
Cina menyadari, walaupun industrialisasi telah mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan, namun hal itu menimbulkan dampak yang tak kalah besar. Seperti di Thangsan, misalnya, para pekerja pabrik di sana diupah dengan sangat layak dan membuat kehidupan mereka cukup sejahtera.
Namun pabrik-pabrik di Thangsan memunculkan problem lingkungan yang tak kalah pelik. Selain polusi udara, sumber air dan makanan di daerah tersebut tak dapat dikonsumsi karena telah terkontaminasi zat-zat kimia pabrik.
Oleh sebab itu, guna mengganti batu bara, Cina meluncurkan investasi terbesar di dunia untuk tenaga angin dan surya. Jika berhasil, manfaatnya tidak hanya akan dirasakan Cina, tapi juga seluruh penjuru bumi.
Selagi menunggu hasil dari pemerdayaan energi angin dan surya, saat ini Cina juga telah menekan warganya untuk mengganti kompor dan tungku batu bara di rumah masing-masing. Cina juga mewajibkan kendaraan menggunakan bensin dan diesel berkualitas lebih tinggi. Standar emisi mobil yang mulai berlaku pada 2020 nantinya akan sebanding dengan produk Eropa dan Amerika.