REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Calon presiden Prancis yang digadang-gadang merupakan kandidat terkuat pemenang pemilu, Emmanuel Macron, mendapat masalah secara tiba-tiba. Sejak Jumat (5/5) waktu Prancis, tim kampanye Macron menyebut mereka telah menjadi sasaran peretasan komputer besar-besaran, meliputi email, dokumen, dan informasi pembiayaan kampanye.
Peretasan itu terjadi hanya dalam kurun 1,5 hari menjelang pemungutan suara untuk memilih Macron atau lawannya dari ekstrem kanan, Marine Le Pen. Dalam berbagai jajak pendapat, Macron terus mengungguli Le Pen.
Komisi Pemilihan Prancis meminta agar data-data yang diduga bocor, tidak dipublikasikan baik oleh tim kampanye, masyarakat maupun media. Hal ini tak terlepas dari masa tenang pemilu.
"Komisi menekankan bahwa publikasi atau republikasi data ini bisa menjadi tindak pidana," katanya dalam pernyataan dari komisi pemilihan setempat dilansir Reuters, Ahad (7/5).
Komisi pemilihan meminta data yang bocor tak dipublikasikan ke publik agar tidak memengaruhi hasil pemungutan suara. Meski begitu, hal itu dinilai sulit mengingat saat ini era saat ini, orang bisa dengan mudah mendapatkan berita secara daring, berbagai informasi bebas melintasi perbatasan.
"Pada saat pemilihan, kami mengimbau semua orang yang menggunakan jejaring sosial, terutama media, dan semua warga negara untuk menunjukkan tanggung jawab dan tidak membahas soal hal ini agar tidak mendistorsi ketulusan pemungutan suara," kata komisi pemilihan.
Jajak pendapat meramalkan Macron, mantan bankir investasi dan menteri ekonomi itu, merupakan calon pemenang dari lawan politiknya Marine Le Pen. Survei terakhir menunjukkan Macron meraih suara hingga 62 persen dibandingkan rivalnya.
"Kami tahu bahwa risiko semacam ini akan hadir selama kampanye kepresidenan, karena telah terjadi di tempat lain," ujar Presiden Prancis Francois Hollande.