REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Prancis secara resmi memulai pemungutan suara putaran kedua pada Ahad (7/5). Pemilu kali ini dilihat sebagai kontes elektoral paling penting di Prancis dan Uni Eropa selama beberapa tahun terakhir. Dua kandidat dengan visi bertentangan kini saling berhadapan dan sama-sama berjuang untuk masa depan negara dan benua mereka.
Emmanuel Macron, mantan bankir dan Menteri Ekonomi yang masih berusia 39 tahun, berpandangan liberal secara ekonomi dan progresif secara sosial, serta berpikiran global dan optimis. Sementara lawannya, Marine Le Pen adalah seorang proteksionis pertama yang ingin menutup perbatasan Prancis dan mungkin akan membawa Prancis meninggalkan Uni Eropa dan mata uang euro.
Jajak pendapat terakhir yang diterbitkan pada Jumat (5/5) menunjukkan, Macron unggul 22 poin persentase di atas Le Pen. Keunggulannya didapat setelah Le Pen dianggap gagal dalam debat TV terakhir, karena menghabiskan lebih banyak waktu untuk menyerang lawannya daripada mempromosikan kebijakannya.
Sebanyak 47 juta pemilih Prancis mulai memberikan suara mereka di sekitar 70 ribu tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh negeri pada pukul 08.00 waktu setempat. Hasil pemungutan suara diperkirakan akan dirilis saat setelah TPS ditutup pada pukul 20.00.
Pemungutan suara telah lebih dahulu berlangsung di wilayah luar negeri Prancis pada Sabtu (6/5). Pemungutan suara dimulai di Saint-Pierre-et-Miquelon, sebuah kepulauan di dekat pulau Newfoundland, Kanada, dan dilanjutkan ke wilayah luar negeri lainnya, tepatnya di Kedutaan Besar Prancis.
Seperempat dari pemilih diperkirakan akan melakukan abstain, yang banyak dari mereka adalah pendukung François Fillon dan Jean-Luc Mélenchon, kandidat yang tersingkir dalam pemungutan suara putaran pertama pada 23 April lalu. Para pendukung itu mengatakan mereka tidak akan memberikan suara untuk kedua kandidat yang bersaing di putaran kedua.
Babak final pemilu Presiden ini juga diwarnai dengan insiden kebocoran email milik salah satu kandidat, Emmanuel Macron. Kebocoran terjadi tepat dua hari sebelum pemungutan suara berlangsung.
"Jelas ini merupakan upaya untuk melakukan destabilisasi demokrasi, seperti yang terlihat selama kampanye kepresidenan terakhir di AS," ujar tim kampanye Macron, dikutip The Guardian.
Badan Pengawas Pemilu Prancis memperingatkan, mempublikasikan puluhan ribu email dan dokumen lainnya yang telah diretas, dapat dianggap sebagai tindakan pidana. Hal itu terlebih beberapa dokumen yang bocor dilaporkan palsu.
"Komisi meminta semua warga negara, terutama di jejaring sosial, untuk menunjukkan tanggung jawab dengan tidak menyebarkan konten dokumen ini, agar tidak mendistorsi pemungutan suara," tulis Komisi Pengawas Pemilu Prancis, dalam sebuah pernyataan, Sabtu (6/5).
Banyak saluran berita televisi yang bahkan memilih untuk tidak memberitakan kebocoran email tersebut. Sementara surat kabar Le Monde mengatakan di situsnya bahwa mereka tidak akan menerbitkan dokumen kampanye Macron sampai pemungutan suara selesai, bukan hanya karena terlalu banyak, tetapi juga karena khawatir hal itu akan mempengaruhi pemungutan suara.
"Jika dokumen-dokumen ini berisi pengungkapan, Le Monde tentu saja akan menerbitkannya setelah melakukan investigasi, dengan menghormati kode etik jurnalistik dan tanpa membiarkan diri tereksploitasi," kata surat kabar Le Monde.
Dokumen yang bocor itu diungkap di bawah profil bernama EMLEAKS ke Pastebin, situs penyebar dokumen tanpa nama. Tim kampanye Macron mengatakan mereka tidak khawatir dengan isi dokumen itu.
Menurut mereka, dokumen tersebut berisi data operasional normal sebuah kampanye. Namun, yang dikhawatirkan adalah jika dokumen telah dicampur dengan data palsu untuk menyebarkan informasi yang salah.