REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Prancis telah memulai pemungutan suara pemilu putaran kedua, Ahad (7/5). Berikut beberapa hal yang perlu diketahui tentang pemilu Prancis kali ini, dikutip dari Aljazirah.
1. Mengapa pemilu ini penting?
Prancis akan memilih presiden berikutnya. Pemilu kali ini diawasi sangat ketat karena, untuk pertama kalinya dalam sejarah Prancis modern, tidak satu pun dari dua kandidat yang masuk ke putaran pertama berasal dari partai arus utama sayap kiri atau kanan.
"Partai Republik, yang berada di sayap kanan dan Partai Sosialis di sayap tengah kiri hanya mewakili 26 persen dari total suara di pemungutan suara putaran pertama, yang merupakan skor kumulatif terendah untuk dua partai utama Prancis dalam sejarah Republik Kelima," ujar Pierre Bocquillon, seorang dosen politik di Universitas Anglia Inggris, kepada Aljazirah.
"Mereka dianggap telah terputus dari rakyat, tidak memenuhi janji, dan mengeluarkan kebijakan serupa saat berkuasa. Lebih dari sekedar kemenangan para penantang, ini adalah kegagalan spektakuler, baik dari Partai Sosialis maupun Partai Republik," ujar Bocquillon.
Emmanuel Macron, yang masih berusia 39 tahun, adalah seorang sentris yang berjalan secara independen dan telah meluncurkan gerakannya sendiri tahun lalu, "En Marche!" Dia sebelumnya menjabat sebagai Menteri Ekonomi di bawah pemerintahan Presiden Francois Hollande dari Partai Sosialis.
Lawannya berusia 48 tahun, Marine Le Pen, dari sayap kanan-jauh, yang baru-baru ini menyatakan kemundurannya dari partai Front Nasional (FN) yang dipimpinnya. Langkah tersebut dipandang sebagai bagian dari upaya untuk menjauhkan diri dari akar rasis partai tersebut, yang didirikan oleh ayahnya Jean-Marie Le Pen, pada 1942.
Perancis adalah anggota pendiri Uni Eropa dan pemilu kali ini dikhawatirkan dapat menyebabkan kejatuhan terbaru dari blok tersebut. Jika Macron adalah pendukung Uni Eropa, Le Pen justru menentangnya. Le Pen menjanjikan sebuah referendum keanggotaan Prancis, dengan harapan negara tersebut akan mengikuti jejak Inggris, dengan melakukan "Frexit."
2. Siapa yang akan menang?
Di putaran pertama, Macron unggul dengan 23,9 persen suara dibandingkan dengan Le Pen yang mendapatkan 21,4 persen suara. Jajak pendapat yang diterbitkan sebelum kampanye diakhiri pada Jumat (5/5), menunjukkan Macron akan memenangkan suara sekitar 65 persen.
Setelah debat publik pada Rabu (3/5) yang disiarkan di TV, Macron mendapatkan satu poin lebih unggul karena Le Pen bersikap lebih defensif. Banyak yang menganggap Le Pen sebagai pemimpin yang kurang meyakinkan.
Macron kemungkinan akan mendapatkan suara dari pendukung kandidat sayap kanan dan kiri, yaitu Benoit Hamin dan Francois Fillon, yang tersingkir dalam putaran pertama. Keduanya telah mendesak pendukung mereka untuk memilih Macron.
Kandidat sayap kiri-jauh Jean-Luc Melenchon, mendapat dukungan lebih banyak dari pada Hamon di putaran pertama. Akan tetapi belum jelas apakah pendukungnya akan memilih Macron atau Le Pen.
Ada yang mengatakan mereka akan memberikan suara kosong, sebagian lain mengatakan mereka akan memilih Le Pen. Tidak seperti beberapa politisi terkemuka lainnya, Melenchon menolak meminta pendukungnya untuk memilih Macron.
Jajak pendapat gagal memprediksi dua peristiwa besar yang terjadi baru-baru ini di Barat, yaitu keputusan Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa dan kemenangan Presiden AS Donald Trump. Sehingga sejumlah analis mengatakan, apapun mungkin terjadi dalam pemilu Prancis. "Saya akan mengatakan itu tidak mungkin, tapi masih ada kemungkinan bagi Le Pen untuk menang. Bahkan jika dia gagal, sampai batas tertentu dia telah menang. Dia telah menang dalam banyak hal, dia telah mencemari debat publik dan masalah politik untuk waktu yang lama," kata Nacira Guenif, seorang sosiolog dan profesor.
3. Bagaimana keberhasilan sayap kanan-jauh selama ini?
Terakhir kali, kandidat sayap kanan-jauh ikut berpartisipasi dalam pemilu Prancis 2002, saat ayah Marine Le Pen, Jean-Marie Le Pen, melawan kandidat sayap kanan Jacques Chirac. Jean-Marie Le Pen hanya meraih 18 persen suara karena jutaan orang ingin menyingkirkan partainya yang dianggap ekstrem.
Namun tampaknya Marine Le Pen yang lebih muda, lebih menyukai permainan politik mainstream jika dibandingkan dengan tokoh lama partai di bawah kepemimpinan ayahnya. Jean-Marine Le Pen dianggap sebagai seorang rasis yang diduga melakukan pembantaian dalam Perang Aljazair.
Le Pen menunjukkan dirinya sebagai seorang 'kandidat untuk rakyat'. Ia memiliki kebijakan yang bertentangan terkait imigrasi, pengungsi, minoritas Prancis termasuk Muslim, Uni Eropa dan mata uang euro, globalisasi, pekerja asing, serta pajak.
4. Bagaimana dukungan negara lain?
Sayap kanan-jauh di Eropa Barat tengah menyaksikan pemilu ini dengan saksama. Kemenangan Le Pen akan memberi dorongan yang signifikan terhadap mereka.
Di antara pendukungnya adalah Geert Wilders, politisi Belanda yang dikenal mengidap Islamofobia, yang baru saja kalah dalam pemilu. Selain itu, ada juga Nigel Farage, mantan pemimpin Partai Independen Inggris yang populis.
Pada Januari, Le Pen pergi ke Trump Tower di New York, yang memicu spekulasi bahwa Trump telah mendukungnya. "Pemilu yang sangat menarik saat ini sedang berlangsung di Prancis," tulis Trump di akun Twitter pribadinya.
Presiden Rusia Vladimir Putin juga menyambutnya di Moskow pada Maret lalu. Putin mengatakan, Le Pen mewakili spektrum kekuatan politik Eropa yang berkembang dengan cepat, namun ia menolak campur tangan dalam proses politik itu.
Sedangkan Macron mendapat dukungan dari mantan Presiden AS Barack Obama. Macron mengatakan ia telah mendapat inspirasi dari strategi kampanye Obama. Kanselir Jerman Angela Merkel juga mengatakan dia yakin Macron akan menjadi presiden yang kuat untuk Prancis.
5. Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Dalam jangka pendek, jika Macron menang, Prancis diperkirakan akan lebih tenang. Namun, jika Le Pen memenangkan kursi kepresidenan, diduga demonstran anti-fasis akan menunjukkan kemarahan mereka dan bentrokan akan terjadi di jalan-jalan.
Meski begitu, dengan popularitas yang cukup tinggi, bukan berarti Macron mendapat banyak dukungan dari seluruh negeri. Pada sebuah demonstrasi di Paris pada 1 Mei, ribuan demonstran meneriakkan "Ni Le Pen, ni Macron" yang artinya "Tidak untuk Le Pen, tidak juga untuk Macron."
Setelah terpilih, presiden Prancis akan menjabat maksimal dua masa jabatan, masing-masing selama lima tahun. Sementara pemilu parlemen akan dilakukan pada Juni mendatang. Jajak pendapat awal menunjukkan, partai Macron akan muncul sebagai partai terbesar, yang diikuti dengan partai konservatif.