Senin 08 May 2017 08:15 WIB

Presiden Baru Prancis Emmanuel Macron Diadang Masalah Ekonomi

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Presiden terpilih Prancis Emmanuel Macron.
Foto: AP
Presiden terpilih Prancis Emmanuel Macron.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Setelah menghadapi lambatnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya angka pengangguran, dan kurangnya daya saing selama satu dekade, Prancis kembali memilih seorang presiden pada Ahad (7/5). Kandidat yang keluar sebagai pemenang, Emmanuel Macron, mengatakan dia memiliki rencana untuk menarik negara tersebut keluar dari kelesuan ekonomi.

Macron, mantan bankir investasi, sempat mundur dari pemerintahan Presiden Francois Hollande dua kali karena frustrasi dengan lambannya reformasi ekonomi Prancis. Kini, ia muncul dengan janji untuk merombak pasar tenaga kerja, menyederhanakan sistem pajak dan pensiun, dan meninjau kembali peraturan yang menghambat inovasi.

Akan tetapi saat masuk ke istana Elysee dengan mengalahkan kandidat sayap kanan Marine Le Pen, mantan Menteri Ekonomi berusia 39 tahun itu akan segera menghadapi tantangan ekonomi yang berat yang menakutkan. Dia harus melancarkan agenda reformasi saat Prancis tengah terpecah belah.

Survei yang dilakukan oleh Bertelsmann Foundation pekan lalu menunjukkan, sekitar 20 persen pemilih Prancis mendukung ekstrem kanan atau kiri, dibandingkan dengan tujuh persen di Uni Eropa secara keseluruhan. Hanya 36 persen dari mereka yang mendukung moderat, dibandingkan dengan 62 persen di Uni Eropa.

Hasil pemilu menunjukkan, hampir separuh rakyat lebih memilih pendekatan sentralistis terhadap perekonomian. Seperti yang diusulkan Macron, dalam pendekatan ini, peran negara akan lebih diperluas. Agar memiliki kesempatan untuk melaksanakan rencananya, dia harus mendapatkan dukungan dari parlemen. Hal ini tentu akan tergantung pada bagaimana partai barunya, En Marche!, akan berjaya dalam pemilihan legislatif bulan depan.

Bahkan jika Macron mendapatkan mayoritas dukungan, kemungkinan besar reformasinya bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, untuk dapat membuahkan hasil. "Macron menjanjikan sebuah pendekatan yang kesuksesannya akan bergantung pada negosiasi dengan serikat pekerja," kata Gilles Moec, kepala ekonom Eropa di Bank of America Merrill Lynch.

Program ekonomi Macron telah menghindari pendekatan "shock-and-awe" milik kandidat presiden sayap kanan Francois Fillon, yang telah tersingkir di putaran pertama. Pendekatan itu mencakup pemotongan pekerjaan di sektor publik dan perpanjangan masa kerja wajib. Sebaliknya, dia mencatat solusi yang menurut para penasihatnya lebih sesuai untuk mengatasi akar permasalahan perekonomian di Prancis. Banyak ekonom independen setuju dengan Macron.

Macron tidak akan mempertahankan jam kerja 35 jam, seperti yang dijanjikan Fillon. Ia justru berencana untuk memungkinkan perusahaan agar menegosiasikan kesepakatan 'in-house' dengan karyawan mereka terkait jam kerja dan upah. Dia telah memberi isyarat bahwa dia bisa mempercepat reformasi perburuhannya melalui parlemen dengan perintah eksekutif.

Terkait pensiun, Macron tidak memiliki rencana untuk menaikkan usia pensiun resmi, yaitu 62 tahun. Sebaliknya, dia ingin menyatukan rencana pembayaran dana pensiun Prancis yang membingungkan dari waktu ke waktu, dengan beralih ke sistem poin bergaya Swedia. Dalam sistem ini pembayaran dana pensiun sesuai dengan kontribusi yang dilakukan seseorang selama mereka bekerja.

Macron juga ingin menghemat sebanyak 60 miliar euro selama lima tahun, lebih kecil dibandingkan dengan rencana Fillon sebesar 100 miliar euro. Penurunan tarif pajak perusahaan juga akan diturunkan Macron menjadi 25 persen dari 33 persen, secara bertahap.

Pendekatan bertahap Macron mungkin akan mengurangi risiko timbulnya demonstrasi jalanan, yang berbahaya secara politis. Demonstrasi yang merongrong agenda pemerintah telah menjadi momok bagi banyak presiden Prancis. Namun, pendekatan itu juga akan rentan terhadap kritik dari kalangan konservatif yang percaya bahwa ekonomi Prancis memerlukan sentakan reformasi yang jauh lebih berani.

Baca juga: Euro Menguat ke Level Tertinggi dalam 6 Bulan Setelah Macron Menang

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement