REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Aliansi Advocat Muslim NKRI Al-Katiri berharap majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) memutuskan perkara kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan seadil-adilnya.
Aliansi Advocat Muslim berharap hakim mampu menerobos paradigma positivistik hukum dengan menggunakan metode penafsiran yang lebih holistis dan filosofis.
"Hal demikian sebagaimana dikemukakan oleh Ronald Dworkin sebagai moral reading, sebagai 'dekonstruksi hukum' oleh Jacques Derrida, atau juga 'progresivisme hukum' sebagaimana diajarkan oleh Satjipto Rahardjo," kata Al-Katiri menyampaikan pendapatnya kepada Republika.co.id, di Jakarta, Senin, (8/5).
Intinya hakim, kata dia, harus membuka dirinya dalam menghadapi kebuntuan teks-teks hukum, pada perkara gubernur DKI yang disapa Ahok itu. Karena kebuntuan dalam perkara Ahok, kata dia, merupakan suatu hal yang disengaja dan penuh siasat.
"Diakui memang ada kebuntuan karena ketidakjelasan teks dalam rumusan pasal," ujarnya.
Teks yang dimaksud Al-Katiri antara lain ialah menyangkut perihal niat pada penjelasan Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965. Pasal ini meringankan tuntutan untuk Ahok. Perihal niat ini menurut ahli hukumpidana yang dihadirkan oleh Penasihat hukum harus dibuktikan sebagai celah Ahok lolos dari jeratan hukum terkait penodaan agama.
"Di sini Hakim harus mengedepankan keadilan hukum yang tidak lagi semata-mata harus identik dengan teks pasal suatu undang-undang," katanya.
Masih dikatakan Al-Katiri, karena menurut pendapat ahli ternama mengatakan niat adalah identik dengan kesengajaan. Bahkan, beberapa ahli walaupun membedakan antara niat dan kesengajaan, namun keduanya sepakat jika niat sudah ditunaikan dalam tindakan nyata maka niat telah berubah menjadi kesengajaan.
Untuk itu kata Al-Katiri perlu dipahami bahwa niat dalam KUHP dimasukkan dalam unsur percobaan sebagaimana diatur pada Pasal 53 ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan Pasal 54. Jadi, menurut dia, bukan pada delik yang sudah selesai in casu perkara, karena perihal niat tidak perlu dibuktikan, cukup kesengajaan saja.
Al-Katiri menuturkan, yang selalu didalilkan oleh penasihat hukum Ahok termasuk ahli hukum pidana yang dihadirkannya bahwa pengertian golongan yang dimaksudkan pada Pasal 156 KUHP tidak termasuk golongan penduduk yang berdasarkan agama juga harus ditolak oleh majelis hakim.
Pendapat demikian kata Al-Katiri bermuatan paham positivistis. Karena pembagian golongan penduduk pada masa kolonial memang mengacu kepada Pasal 163 jo Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) yakni Golongan Eropa, Golongan Timur Asing dan Golongan Bumi Putera dengan ketentuan hukum yang berlaku untuk masing-masing golongan.
Ketentuan ini, kata Al-Katiri, didasarkan pada Pasal 75 Regeling Reglement (RR) yang juga mengacu kepada ketentuan Pasal 9 jo Pasal 11 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB). Namun, penggolongan penduduk tersebut pasca-Indonesia merdeka tidak berlaku lagi.
Sebab, lanjut Al-Katiri ketentuan penggolongan penduduk pada masa kolonial bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terlebih lagi saat ini Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Kemudian, penafsiran sistemik dan historis yang menunjuk adanya hubungan emosional antara Pasal 156 dan Pasal 156a huruf a KUHP juga penting dilakukan. Kedua pasal tersebut ditinjau dari teori kesengajaan sangat terkait dan ada hubungan antar keduanya, sebagaimana telah penulis sampaikan di atas.
"Menyikapi akan diputuskannya perkara Ahok, maka sebagai warga negara yang baik tentunya kita harus dapat menerima apapun putusan majelis hakim, dengan catatan sebagai sebuah kenyataan (sein)," katanya
Al-Katiri memberikan catatan, bahwa keadilan dalam praktik sangat ditentukan oleh bekerjanya sistem hukum. Namun, hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Karena masyarakat akan menilai apakah keadilan dan hukum itu dapat dipertemukan atau sebaliknya.
Masyarakat, kata dia, mungkin saja tidak dapat menerima putusan hakim karena dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan. Oleh karena itu, hakim semestinya mengedepankan keadilan hukum ketimbang kepastian hukum.
"Hakim harus berani bersikap progresif dalam memutus perkara yang penuh dengan rekayasa kepentingan politik," katanya.
Al-Katiri mencontoh Bismar Siregar, dalam setiap putusannya tidak hanya menggali materi hukum yang ada dalam undang-undang, namun ia selalu menggali dengan mengedepankan moral dan hati nuraninya.
Dalam dunia akademik putusan majelis hakim masih dapat 'diuji' dengan standar akademik pula. Di sini berlaku penerimaan atas putusan hakim dalam wilayah hukum sebagai kenyataan.
"Semoga keadilan mewujud dalam putusan majelis hakim yang mulia," katanya.