REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2016 mencatat garis kemiskinan di DKI sebesar Rp 510.388 per kapita per bulan, di mana untuk garis kemiskinan makanan Rp 329.644 dan bukan makanan Rp 180.715 per kapita per bulan. Sepanjang 2007-2016, rata-rata proporsi pengeluaran untuk makanan penduduk Jakarta sebesar 62-66 persen dan nonmakanan 34-38 persen. Adapun jumlah penduduk miskin di Ibu Kota berjumlah 385,84 ribu orang atau 3,75 persen.
Dibandingkan dengan September 2015, jumlah penduduk miskin meningkat cukup jauh dari 368,67 ribu orang atau 3,61 persen. Meningkatnya jumlah penduduk miskin ini salah satunya dipengaruhi oleh naiknya garis kemiskinan.
Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED), Farouk Abdullah Alwyni mengatakan, salah satu persoalan klasik yang harus dibenahi Anies Baswedan-Sandiaga Uno adalah angka kemiskinan masyarakat kota yang masih tinggi. Menurut Farouk, jumlah penduduk miskin di Ibu Kota terbilang sedikit. Namun, harus digarisbawahi biaya hidup di DKI terbilang mahal.
Artinya, jumlah penduduk miskin di DKI kemungkinan besar jauh lebih banyak ketimbang data yang dirilis BPS. “Apa cukup hidup di Jakarta dengan pendapatan Rp 500 ribu? Idealnya minimum biaya hidup di Ibu Kota adalah Rp 2,5 juta untuk bisa dikatakan keluar dari level di bawah garis kemiskinan,” katanya dalam siaran pers kepada republika.co.id, Selasa (8/5).
Menurut Farouk, untuk dikatakan bisa hidup layak di Jakarta, warga setidaknya membutuhkan biaya sebesar Rp 7,5 juta per bulan apabila merujuk survei lima tahunan BPS dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) tertinggi. IHK menghitung rata-rata pengeluaran untuk barang dan jasa per rumah tangga di sebuah kota. Atas dasar itu, gubernur DKI yang baru terpilih harus bekerja esktra untuk meningkatkan pendapatan warga.
Farouk mengatakan, tingkat kesejahteraan warga DKI bisa meningkat jika pertumbuhan ekonomi terus dipacu. Pada 2016, pertumbuhan ekonomi DKI masih stagnan di angka 5,85 persen. Meski selisih pertumbuhan ekonomi antara Jakarta dan nasional masih cukup lebar pada 2016, tetap saja angkanya lebih rendah ketimbang 2015.
Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, Anies-Sandi perlu memperhatikan beberapa faktor. Pertama, menciptakan iklim investasi yang aman dan nyaman. Kedua, peran pemerintah DKI dalam melindungi dan memfasilitasi UKM harus menjadi spirit birokrasi sebagai pelayan publik.
Ketiga, bagi warga yang berada di bawah garis kemiskinan, Anies-Sandi nantinya harus tetap menyediakan instrumen jaring pengaman sosial dengan skema tunjangan sosial. Keempat, melanjutkan reformasi birokrasi agar struktur pemerintahan lebih ramping, sehingga kinerjanya efektif dan efisien.