REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Setara Institute Hendardi menilai vonis dua tahun penjara terhadap Basuki Thahaja Purnama (Ahok) di luar kelaziman karena hakim memutus melampaui apa yang menjadi tuntutan JPU. Menurutnya, JPU gagal membuktikan dakwaan primer Pasal 156 a.
"Maka JPU hanya menuntut Basuki dengan Pasal 156 KUHP," kata Hendardi, Selasa (9/5).
Meskipun tidak lazim, secara prinsip memang hakim independen dan merdeka dalam memutus perkara, sepanjang tidak keluar dari delik dan dakwaan yang termaktub dalam UU. Meski demikian, kemerdekaan hakim semestinya haruslah sejalan dan bertolak dari fakta-fakta persidangan.
Kualitas peristiwa hukum yang menimpa Basuki dan pembuktian yang lemah sepanjang masa sidang semestinya mampu meyakinkan hakim untuk membebaskan Basuki atau setidaknya memvonis dengan hukuman yang tidak melampaui tuntutan JPU.
Ia mengatakan, kasus ini merupakan kasus penodaan agama ke-97 yang terjadi sepanjang 1965-2017. Sebagai sebuah mekanisme demokrasi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara haruslah dihormati.
Namun, menurutnya, harus pula diakui bahwa majelis hakim bekerja di bawah tekanan gelombang massa yang sejak awal memberikan tekanan dan mendesak pemenjaraan Basuki. Vonis itu mempertegas bahwa delik penodaan agama rentan digunakan sebagai alat penundukan bagi siapa pun dan untuk kepentingan apa pun.
"Bahkan, dari 97 kasus yang pernah terjadi, 89 kasus terjadi setelah 1998. Di sinilah bahaya dari ketentuan yang bias dan multitafsir dari Pasal 156 a KUHP," kata dia.