REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Seorang pakar penyakit menular asal Australia mengatakan, ada bukti yang meningkat bahwa transplantasi tinja bisa menyebabkan beberapa pasien mewarisi karakter fisik dan mental dari donor mereka, termasuk bentuk tubuh dan bahkan gejala depresi.
Transplantasi tinja menjadi perawatan yang semakin populer untuk sejumlah kondisi seperti kelelahan kronis, parkinson, autisme dan sindrom iritasi usus besar. Lebih umum lagi, mereka digunakan untuk mengganti bakteri usus dari orang-orang yang mengalami komplikasi setelah penggunaan antibiotik jangka panjang.
Perawatan tersebut melibatkan transplantasi tinja donor ke dalam usus pasien untuk memperbaiki keseimbangan bakteri baik dan jahat. Associate Profesor Patrick Charles, dari Department Penyakit Menular di Austin Health, Australia, telah menunjukkan bukti dari efek samping yang tidak lazim di hadapan para spesialis di kongres Royal Australasian College of Physicians di Melbourne.
Charles mengatakan pengobatan tersebut telah digunakan dalam pengobatan modern sejak tahun 1950-an, namun para dokter masih memelajari tentang pengaruhnya. "Ini cara yang sangat berhasil untuk memperbaiki pertumbuhan berlebih dari bakteri jahat yang menyebabkan diare yang mengerikan," jelasnya.
Ia lalu menerangkan, "Kini, apa yang kami pelajari tentang hal ini adalah perubahan dalam campuran bakteri di saat Anda mendapatkan transplantasi ini ternyata bisa membuat pasien mewarisi beberapa karakteristik donor.”
"Ada orang-orang yang telah mewarisi bentuk tubuh donor, misalnya jika donor mengalami kelebihan berat badan atau kekurangan berat badan mereka akan menjadi seperti itu,” imbuhnya.
"Bahkan ada laporan dari beberapa orang yang tak pernah mengalami depresi lalu mendapatkan transplantasi dari seseorang yang mengalami depresi, mereka akhirnya mengalami depresi pertama mereka setelah itu," kata Dr Charles.
Ia menyebut, walau sains belum ada di tahapan di mana dokter bisa mengobati kondisi seperti gangguan depresi dan berat badan akibat transplantasi tinja, itu hanyalah bagian kecil dari masalah yang tersembunyi. "Kami baru saja sampai pada tahap awal untuk memahami hal ini, tapi itu adalah sesuatu yang perlu kami pelajari lebih lanjut karena bisa berperan di masa depan," kata Dr Charles.
Ada banyak pengetahuan tentang tinja
Charles mengatakan penelitian yang terus berkembang mengubah cara dokter melihat materi tinja.
"Kami tahu ini sangat rumit. Sebelumnya, kami memiliki sedikit pengetahuan dan kami bisa menumbuhkan bakteri yang berbeda dalam sampel tinja, tapi sekarang dengan teknologi DNA, kami menemukan ada banyak hal lagi di sana yang belum kami ketahui, dan banyak bakteri ternyata tak benar-benar tumbuh di laboratorium sehingga kami tak bisa mengidentifikasi mereka sebelumnya," jelas Dr Charles.
Tapi ia mengatakan, transplantasi tinja saat ini bukanlah sebuah pengobatan umum. "Jika seseorang mendapat resep antibiotik dan berakhir dengan pertumbuhan bakteri buruk di usus mereka, terkadang kami mencoba pengobatan normal, yaitu antibiotik, untuk memperbaikinya, tapi kadang kala itu tak lagi bekerja," ujarnya.
Ia menyambung, "Terkadang kami harus melakukan transplantasi tinja untuk memperbaiki masalah ini."
Diterjemahkan pukul 10:00 AEST oleh Nurina Savitri dan anda bisa melihat artikelnya dalam bahasa Inggris di sini.