REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden baru Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-In berjanji untuk segera melaksanakan sejumlah tugas sulit sebagai pemimpin baru negara itu. Ia mengatakan hal itu khususnya adalah menangani ambisi program nuklir Korea Utara (Korut) yang terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir.
Ia menuturkan akan memulai upaya dalam meredakan ketegangan di Semenanjung Korea. Moon Jae-in juga menjelaskan bahwa negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) dan Cina terkait masalah yang melibatkan kedua negara terkait program nuklir Korut segera dilakukan.
Dalam sebuah percakapan telepon dengan Presiden AS Donald Trump, Moon Jae-in mengatakan siap bekerjasama untuk mengatasi ancaman nuklir Korut. Hubungan sekutu antara Korsel dan AS juga disebut akan terus ditingkatkan dalam berbagai bidang.
Dari percakapan Moon Jae-in dan Trump, kedua pemimpin negara mengatakan masalah program nuklir Korut adalah hal yang sangat sulit ditangani. Namun, mereka sepakat bahwa bukan berarti hal itu tidak dapat dipecahkan.
Moon Jae-in juga telah dijadwalkan untuk melakukan pertemuan kenegaraan di Negeri Paman Sam. Meski demikian, belum diberitahukan waktu pasti terkait perjalanannya tersebut.
Sebelumnya, dalam sebuah pidato pelantikannya, Moon Jae-in mengemumkakan bagaimana strategi perdamaian di Semenanjng Korea dapat tercapai. Selama ini di kawasan tersebut terus terjadi ketegangan karena uji coba program nuklir yang dilaksanakan oleh negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un itu.
Ancaman nyata dirasakan oleh Korsel, serta negara di sekitanya yaitu Jepang. Bahkan, Korut disebut terus mengembangkan program nuklir yaitu rudal yang menjangkau antar benua. Jika terwujud, maka senjata itu dikatakan dapat mencapai hingga wilayah AS.
"Saya akan bergerak untuk mengatasi krisis keamanan nasional dan saya bersedia pergi ke manapun untuk perdamaian di Semenanjung Korea, termasuk ke Ibu Kota Pyongyang, Korut sekalipun," ujar Moon Jae-in, Rabu (10/5).
Selama masa kampanye, Moon Jae-in sering mengatakan bahwa bila ia terpilih menjadi Presiden Korsel, maka ia akan mencoba menjalin hubungan baik dengan Korut. Kedua negara tetangga ini secara teknis masih berperang setelah perang Korea berakhir dengan perjanjian gencatan senjata, bukan perdamaian pada 1950-1953.
Pria berusia 64 tahun itu tidak setuju dengan pendekatan garis keras yang dilakukan kalangan konservatif selama hampir satu dekade terakhir. Termasuk langkah pendahulunya, Park Geun-hye yang memutuskan seluruh hubungan diplomatik dengan Pyongyang.
Moon Jaee-in mengatakan hendak membuka dialog dan mempromosikan integrasi ekonomi lintas batas untuk langkah awal memecahkan konflik dengan Korut. Ia diperkirakan hendak melanjutkan kebijakan 'Sinar Matahari' yang pernah diterapkan dua presiden Korsel sebelumnya, yaitu Kim Dae-jung dan Roh Moo-hyun pada 1998 hingga 2008.
Pada masa itu, kedua pemimpin Korsel mendorong perselisihan dengan Korut harus diredam. Salah satu upaya mewujudkannya adalah dengan membangun proyek lintas batas dan mengirim bantuan pangan saat warga di negara terisolasi itu dilanda bencana kelaparan.
Dalam langkah pertamanya, Moon Jae-in dilaporkan telah menunjuk dua orang yang memiliki hubungan dengan Kebijakan Sinar Matahari. Nantinya, mereka mungkin dapat menjadi perdana menteri dan kepala intelijen Korsel.
Moon Jae-in memproleh 41,1 persen suara. Ia mengalahkan kandidat konservatif Hong Joon-yo yang hanya mendapatkan 25,5 persen suara. Termasuk juga kandidat sentris, yang dikenal sebagai pesaing utamanya, Ahn Cheol Soo dengan perolehan suara 21,4 persen.
Moon Jae-in diketahui merupakan anak seorang pengungsi asal Korut. Saat Perang Korea meletus, kedua orangtuanya meninggalkan negara itu dan pindah ke Korsel. Ia lahir pada 24 Januari 1953 di Pulau Geoje.
Pada 1972, Moon Jae-in mulai menempuh pendidikan hukum. Namun, tak lama kemudian ia ditangkap karena menjadi pimpinan dalam sebuah unjuk rasa menetang aturan Park Chung-hye, ayah dari Park Geun-hye.