REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan untuk Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dihukum dua tahun penjara atas kasus penistaan agama dinilai akan mempengaruhi iklim investasi di Indonesia. Praktisi perpajakan sekaligus Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai bahwa investor dunia akan melihat adanya ketidakpastian di Indonesia, termasuk dalam hal penanganan kasus hukum.
"Dunia internasional pun menekan. Secara investment pasti rating kita turun," ujar Yustinus ditemui usai menjadi pembicara dalam Diskusi "Perpajakan Pasca-Tax Amnesty" yang diselenggarakan Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie bekerja sama dengan Republika, Rabu (10/5).
Tak hanya itu, kata Yustinus, melihat dana repatriasi dari program pengampunan pajak yang minim yakni sebesar Rp 147 triliun, maka para pemilik modal akan mempertimbangkan lagi ke mana dana segar itu akan mengalir, di tengah keriuhan politik yang ada saat ini. Ia juga mengungkapkan, investor akan melihat sensitivitas masyarakat Indonesia dalam menghadapi suatu isu, dalam hal ini penistaan agama yang menyeret Ahok.
"Investor akan melihat, orang Indonesia yang punya jabatan dan power saja bisa kena ketidakpastian, gimana investor? Message ini akan mempengaruhi bisnis, repatriasi akan terganggu, jelas terganggu," ujarnya.
Ia melihat, bahkan aturan untuk menahan dana repatriasi di dalam negeri selama tiga tahun belum tentu ampuh. Yustinus menjelaskan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengalami kesulitan melacak aliran dana repatriasi di Indonesia bila sudah masuk sistem perbankan.
"Penyelesaiannya ya politik ya, dan ini buruk. Kegagalan menjaga kondisi politik akan berdampak pada kepercayaan memang. Pajak ini akan terganggu kalau gaduh seperti ini, reformasinya mungkin akan lebih lama stepnya," ujar Yustinus.
Sementara itu, Ekonom Senior yang juga mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid, Kwik Kian Gie, menilai bahwa pemerintahan saat ini memiliki pekerjaan rumah berat untuk meyakinkan investor dalam melakukan penanaman modal asing di Indonesia. Bahkan ia membandingkan tingkat profitabilitas investasi infrastruktur di Indonesia masih bisa diadu oleh pendirian pabrik pakaian dalam di Vietnam.
"Seorang investor hanya mau menginvest uangnya kalau rentabilitasnya dibanding negara lain lebih menguntungkan. Jadi ada atau tidaknya infrastruktur di Indonesia dengan mengundang investor asing, infrastruktur Indonesia diadu profitibilitasnya, diadu dengan kalau bikin pabrik BH (pakaian dalam perempuan) di Vietnam," ujar Kwik.