Kamis 11 May 2017 23:06 WIB

Pemerintah Diminta Pertimbangkan Penurunan Tarif Pajak Penghasilan

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Pajak/ilustrasi
Foto: Pajak.go.id
Pajak/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta untuk mengkaji rencana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh), baik untuk orang pribadi atau badan, dari 25 persen menjadi 22 persen. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menjelaskan, penurunan tarif PPh merupakan suatu kebutuhan bagi industri agar bisa bersaing dengan negara lain. Apalagi, dalam indikator kemudahan berusaha (EoDB), kemudahan pembayaran pajak di Indonesia tergolong lemah dibanding negara lain. Tingginya tarif PPh diyakini menjadi salah satu faktor investor berpikir dua kali untuk memulai usahanya di Indonesia.

"Rate menurut saya harus turun, tapi moderat dan bertahap," ujar Yustinus, Kamis (11/5).

Yustinus menyebutkan, penurunan tarif PPh harus bertahap lantaran belum ada jaminan bila tarif pajak turun akan memperluas basis pajak. Namun, paling tidak, penurunan yang moderat bisa memperbaiki iklim usaha di dalam negeri. Apalagi, menurutnya, pelaku usaha dan wajib pajak orang pribadi akan selalu meminta penurunan PPh biarpun tarifnya sudah diturunkan.

"Jadi supaya aman ya kita turun moderat dulu, 25 persen ke 22 persen, baru kalau itu berhasil, dalam 2 tahun, bisa disesuaikan. Karena dalam waktu 2 tahun nggak akan naik lagi tuh. Harus turun. Karena itu bagian janji amnesti dulu ya," kata Yustinus.

Kajian penurunan tarif PPh sendiri hingga saat ini masih di level kementerian. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) memproyeksikan penurunan tarif PPh sebesar 2 persen.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugasteadi menyebutkan, pada prinsipnya penarikan pajak tidak boleh menghambat investasi. Tak hanya itu, kata Ken, pemungutan PPh juga sebisa mungkin tidak menekan pertumbuhan konsumsi masyarakat dan menghambat belanja pemerintah. Meski begitu, Ken menolak menjelaskan sejauh mana kajian rencana penurunan PPh dilakukan.

"Nggak kan udah mudah semua sekarang gampang loh (memulai) usaha," kata Ken.

Sebelumnya, pemerintah sedang mengejar perbaikan peringkat kemudahan berusaha atau Ease of Doingm Bussiness (EoDB) yang dalam waktu dekat akan dinilai oleh tim dari Bank Dunia. Presiden Jokowi menargetkan peringkat EoDB Indonesia bisa melonjak ke posisi 40 besar dunia, setelah tahun lalu sempat naik lima peringkat dari 106 ke posisi 91.

Bank Dunia mengkategorikan kemudahan berusaha berdasarkan 10 indikator dengan bobot yang sama, yakni memulai usaha, berurusan dengan izin konstruksi, pendaftaran properti, pembayaran pajak, akses kredit, pelaksanaan kontrak, akses terhadap listrik, perdagangan lintas perbatasan, penyelesaian hambatan, dan perlindungan terhadap investor minoritas. Di antara 10 indikator itu, yang mendapat penilaian buruk adalah indikator memulai usaha, berurusan dengan izin konstruksi, pendaftaran properti, pembayaran pajak, akses kredit, pelaksanaan kontrak, dan perdagangan lintas perbatasan. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement