REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah bertahun-tahun, dia kembali dengan perahunya. Catatan perjalanan menarik lainnya ditulis Idrisi yang wafat pada 1166 M dalam karyanya, Nuzhatul Mushtaq. Dalam buku yang diterbitkan di Paris ini, dia menceritakan perjalananya. Menurut dia, sang nakhoda kapal ialah seorang Muslim bernama Ali ibn Yusuf ibn Tashfin.
Dia mengirim seorang perwiranya, Ahmad ibn Umar alias Raqsh al-Auzz, untuk menggempur pulau di lautan Atlantik. Malangnya, dia wafat sebelum berhasil melaksanakan tugasnya. "Di antara kabut lautan itu, tak ada yang bisa memastikan apa saja yang berada di sana," kata Idrisi. Selain buram oleh kabut, ombak Atlantik sangat besar dan berbahaya. Begitu pun karakter anginnya yang kencang.
Hal ini membuat tak ada satu pun navigator kapal yang nekat melintas di sekitar karang-karangnya. Petualang lainnya, Mugharrarin, melaporkan dari persinggahannya di Lisbon, dia mencoba melintasi kabut Atlantik. Pasalnya, dia penasaran dengan keberadaan pulau-pulau di gugusannya. Dia memenuhi kapal dengan berbagai kelengkapan makanan dan minuman yang cukup untuk beberapa bulan.
Dia membawa serta delapan awak kapal andal. Strategi berlayarnya berdasarkan arah angin bertiup. Jika angin timur berembus, mereka bakal mengikutinya hingga 11 hari lamanya. Berkat ketekunannya, mereka mencapai bagian laut yang berombak keras, rumput lautnya bertebaran, dan penglihatan yang terhalang kabut.
Tuntas mengelilingi bagian ini, mereka kembali berlayar ke arah sebaliknya. Mereka menuju ke selatan selama 12 hari. Akhirnya, mereka tiba di sebuah pulau yang dipenuhi kambing. Mereka juga menemukan sumber mata air dan pepohonan. Bahkan, kelompok ini sempat menikmati daging kambing yang liat.
Setelah itu, mereka kembali berlayar untuk menemukan pulau lainnya. Alhasil, ada sebuah pulau yang dinilai masih bisa ditinggali dan bisa dibuat bercocok tanam. Namun, tak selamanya mereka bisa hidup stabil. Kapal mereka juga pernah terjebak di antara karang. Sang navigator mengaku melihat sejumlah penduduk di pulau terdekat.
Mereka berkulit merah dan berambut lurus. Kaum perempuannya berparas sangat cantik. Mereka pun memutuskan untuk berdiam di sebuah rumah di tengah perkampungan selama tiga hari. Pada hari keempat, seseorang mendatangi mereka dan mengajak berkomunikasi dalam bahasa Arab. Dia bertanya keperluan rombongan tersebut.
Pria berbahasa Arab itu mengaku sebagai penerjemah penguasa setempat. Kelompok penjelajah ini pun digiring menemui sang pemimpin wilayah. Sambutan sang pemimpin pun hangat. Bahkan, dia bercerita jika ayahnya juga seorang petualang yang mencoba menguak misteri gugusan kepulauan Atlantik pula. Sang raja pun menyemangati mereka untuk meneruskan perjalanan berdasarkan petunjuk embusan angin.
Kenyataan lain menyambut kelompok pelayar Muslim ini. Saat para pribumi mempersiapkan kapal, mata mereka ditutup. Mereka membawa rombongan ini berlayar sekitar tiga hari dalam keadaan tangan dan kaki terikat. Mereka pun diinterogasi tentang kepentingan pelayaran mereka, asal, serta tujuan pelabuhannya, Asafi Maroko, yang ditempuh selama dua bulan perjalanan laut. Kisah dari Idrisi ini mengungkap jika rombongan ini telah berhasil masuk Casablanca (Dar al-Baida) dan Essaouira (Mogador).