REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pakar ICMI Anton Tabah Digdoyo mengatakan, pemerintah harus memperlakukan terpidana kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sama dengan terpidana lain. Anton menegaskan, penangguhan tidak bisa dilakukan jika vonis dibacakan.
"Ahok harus diperlakukan sama dengan yang lain karena amanah UU seperti itu. Semua orang sama di muka hukum," kata Anton kepada Republika.co.id, Jumat, (12/5).
Mantan kapolwiltabes Yogyakarta yang pernah menangani kasus penodaan agama dengan tersangka Permadi ini mengatakan, "Vonis hakim dua tahun penjara dan memerintahkan Ahok langsung ditahan maka amar vonis tersebut wajib ditaati."
Anton mengatakan, yang bisa ditangguhkan hanya penahanan ketika dalam proses penyidikan dan proses penuntutan, sedangkan setelah vonis hakim, maka tidak ada penangguhan. "Pengalaman saya sebagai penyidik 34 tahun jadi polisi juga sahabat-sahabat saya yang di polisi, jaksa, dan hakim semua bilang begitu tak pernah ada yang sudah divonis hakim dutangguhkan penahanannya," jelasnya.
Anton melanjutkan, seorang tahanan yang sudah mendapat vonis hakim boleh keluar tahanan jika ada alasan sangat khusus, misalnya, untuk berobat ke dokter. Pria yang juga pernah menjabat sebagai sespri Presiden Soeharto itu melanjutkan, upaya hukum bagi terpidana hanya bisa diubah oleh putusan peradilan yang lebih tinggi.
"Yaitu, banding, kasasi, atau peninjauan kembali dan ketika terpidana melakukan upaya hukum tersebut tetap dalam tahanan tidak boleh ditangguhkan, karena memang tidak ada penangguhan pascavonis hakim," katanya.
Untuk itu, ia menambahkan, pemerintah wajib menjadi contoh dalam segala hal yang berkaitan dengan taat hukum, jangan sampai malah merusaknya. "Jika penahanan Ahok pascavonis hakim ditangguhkan, maka pemerintah telah merusak kepastian hukum dan terkesan pemerintah semau gue sakarepe dewe dan ojo dumeh," katanya.