Sabtu 13 May 2017 14:23 WIB

Peneliti: Elite Bangsa Harus 'Turun Gunung' Redam Gejolak Sosial Kasus Ahok

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bayu Hermawan
Ubedilah Badrun
Foto: istimewa
Ubedilah Badrun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai, elit politik harus turun gunung untuk meredam gejolak sosial masyarakat akibat kasus penodaan agama dengan terpidana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Jika tidak, gejolak dikhawatirkan akan makin menjadi-jadi.

Ubedilah menyatakan perlunya sikap dari para elit penguasa untuk meredam gejolak sosial akibat kasus penodaan agama dengan terpidana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang terjadi hingga sekarang ini.

Presiden, wakil presiden, ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lanjut Ubedilah, menjadi pihak yang harus mengeluarkan sikap terkait gejolak sosial tersebut. Jika tidak, maka bisa menimbulkan gejolak sosial yang lebih luas lagi.

"Perlu ada sikap dari elit politik, mulai dari presiden, wakil presiden, ketua DPR, dan ketua MPR, agar kemudian persoalan hukum ini tidak mengarah kepada gejolak sosial yang luas," katanya dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/5).

Jika elit politik membiarkan persoalan gejolak sosial akibat persoalan kasus Ahok itu, maka bisa makin memunculkan gejolak sosial di kalangan masyarakat.  "Semakin mereka membiarkan persoalan ini, maka akan makin memunculkan respon yang menimbulkan gejolak sosial," ucapnya.

Terlebih, menurut Ubedilah, gerakan sosial atas persoalan penodaan agama Ahok tidak muncul secara natural. Menurut dia, ada pihak yang memang memicu massa hingga munculnya gerakan sosial sampai saat ini.

"Gerakan sosial itu muncul karena ada provokasi, karena ada yang mengipas-ngipas, lalu direspons publik," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement