REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta membuat kebijakan tarif cukai yang tidak memberatkan industri. Salah satunya dengan tidak menaikkan tarif terlalu tinggi setiap tahun.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti mengatakan, kenaikan tarif cukai dan pajak terkait tembakau diharapkan tidak lebih dari lima persen atau setara dengan angka inflasi. Sebab, perekonomian Indonesia belum sepenuhnya pulih meskipun mulai membaik.
"Jangan seperti tahun ini yang naik 10 persen. Bahkan, tahun lalu 15 persen. Ini memberatkan industri," kata Moefti, Ahad (14/5).
Moefti mengatakan, Gaprindo juga berharap pemerintah mengatur kenaikan cukai per tiga atau lima tahun sekali, bukan setiap satu tahun. Tujuannya agar para pelaku industri tembakau bisa menyiapkan antisipasi kenaikan cukai dan pajak.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat, realisasi penerimaan bea dan cukai hingga 28 April 2017 mencapai Rp 29,4 triliun. Pencapaian ini lebih rendah Rp 200 miliar dibanding periode sama tahun lalu.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi sebelumnya menjelaskan, salah satu alasan rendahnya penerimaan cukai adalah penurunan produksi rokok dibandingkan tahun lalu. Heru memproyeksikan produksi rokok akan menurun lagi sebesar dua persen pada tahun ini.
Penerimaan bea masuk tercatat sebesar Rp 10,2 triliun atau lebih rendah Rp 300 miliar dibandingkan periode sama tahun lalu. Sementara, penerimaan dari cukai tembakau sebesar Rp 16,4 triliun, menurun Rp 400 miliar dari tahun lalu.
"Kami harapkan dari sekarang ini ke depan penerimaannya sudah mulai bisa stabil, bahkan kami harapkan bisa menutup penurunan di Januari dan Februari itu," kata Heru.