Selasa 16 May 2017 09:13 WIB

Mujahadah

Mari kita meluruskan makna jihad (ilustrasi)
Mari kita meluruskan makna jihad (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Abu Said al-Khudri pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang jihad yang paling utama. Jawabnya, "Kalimatu Haqqin 'inda Sulthan Jair" (Berkata benar di depan penguasa yang zalim). Mendengar jawaban itu, Abu Said terpekur sejenak, dan tanpa terasa air matanya meleleh membasahi janggutnya. (HR Abu Daud dan Thurmudzi).

Jihad memang menggambarkan suatu tugas yang amat berat dan sulit, tetapi harus dilaksanakan. Apa yang dikemukakan Nabi dalam hadis di atas hanyalah salah satu bentuk dari jihad itu. Selain dari itu, terdapat jihad dalam bentuk lain yang kadar dan tingkatannya lebih tinggi, yaitu ijtihad dan mujahadah.

Perbedaannya, ijtihad bersifat intelektual, sedang mujahadah bersifat spiritual. Mujahadah, seperti terlihat di atas, dapat disebut sebagai salah satu bentuk jihad pada tingkatan yang paling tinggi. Inti dari ajaran mujahadah, menurut Imam Qusyairi, adalah perjuangan yang dilakukan seseorang agar ia mampu mengekang kecenderungan-kecenderungan hawa nafsu dan sanggup membuat dirinya tunduk dan patuh kepada Allah SWT, tanpa reserve.

Karena itu, mujahadah senantiasa menyertai kaum sufi pada semua tingkatan dan stasi yang dilalui dalam perjalanannya menuju Allah. (Kitab Risalah Al-Qusyairiyah hal.99). Praktik mujahadah, antara lain, mengejawantah dalam pengalaman ibadah. Dalam kaitan ini, kaum sufi mempunyai kecenderungan untuk mengerahkan seluruh kemampuannya dalam beribadah.

Aswad bin Yasid dikatakan selalu berpuasa sepanjang tahun, sehingga badannya kurus dan kering. Ia juga tak henti-henti melakukan salat siang dan malam hingga terjatuh-jatuh. Bahkan, Sirri al-Saqthi, paman dan sekaligus guru Junaid al-Baghdadi, dikatakan tak pernah berbaring atau rebahan sepanjang hidupnya, kecuali menjelang kematiannya. (Ihya 'Ulum al-Din, 4/434).

Kaum sufi juga mempunyai kebiasaan untuk memberikan hukuman (uqubat) kepada dirinya bila ia lalai dalam melakukan ibadah. Ini adalah bentuk lain dari mujahadah itu. Hukuman yang dijatuhkan dapat berupa puasa sepanjang tahun, melakukan ibadah haji dengan berjalan kaki, atau dengan menyedekahkan seluruh harta dan kekayaan yang dimiliki. Mujahadah seperti ini juga banyak dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi, seperti Umar Ibn al-Khatthab, Abdullah ibn Umar, Ibn Abi Rabi'ah, dan lainnya.

Mujahadah menggambarkan suatu gerak dinamis yang dapat mendatangkan kebaikan. Mujahadah menganut prinsip al-Harakah Barakah (gerak adalah kebaikan). Untuk itu, gerakan anggota badan dalam ibadah diyakini dapat memberi pengaruh bagi kebaikan jiwa dan rohani manusia. Kata sufi Abu Ali al-Daqqaq, Harakat al-Dhawahir Tujib Barakat al-Sarair.

Kaum sufi meyakini bahwa mujahadah dapat mengantar dirinya mencapai musyahadah, yaitu berjumpa Tuhan melalui terbukanya tirai (kasyaf). Dengan mujahadah, seorang dapat memperoleh penerang jalan menuju Allah swt. Allah berfirman, "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (Al-'Ankabut: 69).

sumber : Disarikan dari Pusat Dokumentasi Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement