REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Suriah Bashar al Assad mengatakan, kalau ia lebih fokus pada perundingan paralel yang dimediasi oleh Turki, Rusia dan Iran di ibukota Kazakhstan, Astana daripada perundingan di Jenewa. Pertemuan di Astana bertujuan untuk membangun zona aman di mana akan ada gencatan senjata lokal.
Utusan khusus PBB untuk Suriah, Staffan di Mistura menggambarkan mekanisme Astana sebagai perkembangan yang baik. Namun aktivis kelompok oposisi Suriah Bassam Barabandi menolak perundingan di Astana. Ia menyebut perundingan tersebut hanya tipuan belaka.
"Bagaimana mungkin pelaku pelanggaran HAM berada di forum ini? Tidak ada cara untuk mengetahui berapa banyak orang yang telah ditahan rezim Assad dan berapa banyak yang telah dibunuh. Ini malah melegitimasi penghilangan dan di Mistura seharusnya tidak menjadi bagian dari manuver politik oleh Rusia dan Iran," kata Barabandi seperti dilansir Guardian, Senin, (15/5).
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, mengunjungi Washington pada hari Rabu lalu. Ia mencoba memenangkan dukungan AS atas rencana tersebut, yang akan melibatkan pembuatan empat zona aman.
Di zona aman rezim Assad akan menegosiasikan gencatan senjata dengan kelompok oposisi bersenjata lokal dan menghentikan serangan udara. Lavrov bertemu Presiden AS Donald Trump dan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson.
Namun para pejabat AS disebut tak mau berkomitmen atas perundingan Astana tersebut. Washington lebih memilih untuk menunggu apakah Moskow benar-benar dapat mengendalikan rezim Assad agar tak melakukan serangan bom dari udara.
Diplomat Tingkat Tinggi AS untuk Timur Tengah Stuart Jones mengatakan, mengingat kegagalan gencatan senjata sebelumnya, kami tetap skeptis.