Selasa 16 May 2017 13:35 WIB

Australia Pertimbangkan Larangan Perangkat Elektronik di Pesawat

Presiden Donald Trump dan PM Malcolm Turnbull.
Foto: ABC
Presiden Donald Trump dan PM Malcolm Turnbull.

REPUBLIKA.CO.ID, KANBERRA -- Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull, pada Selasa (16/5), mengatakan negaranya sedang mempertimbangkan untuk mengikuti jejak Inggris dan Amerika Serikat (AS) yang melarang penumpang membawa perangkat elektronik, seperti laptop ke kabin pesawat. Pelarangan ini akan diterapkan pada beberapa penerbangan internasional tertentu.

"Kami melihatnya sangat dekat (pelarangan perangkat elektronik di pesawat), dengan mempertimbangkan semua informasi dan saran yang kami terima secara internasional. Kami bekerja sangat erat bekerja dengan mitra kami," ungkap Turnbull, seperti dilaporkan laman The Telegraph.

Pernyataan Turnbull ini muncul setelah dia mengetahui informasi terkait pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di Gedung Putih. Trump, dalam pertemuan tersebut, dikabarkan mendeskripsikan informasi rahasia AS kepada Lavrov tentang ancaman teror ISIS dengan menggunakan laptop di pesawat.

Turnbull sendiri tidak mengomentari perihal Trump yang disebut membocorkan informasi rahasia AS. Namun ia mengatakan bahwa dirinya mempertahankan kepercayaan diri yang besar dalam aliansi Australia dengan AS. "Ini adalah fondasi keamanan nasional kita dan ini diperkuat lagi ketia Trump dan saya bertemu di New York beberapa hari lalu," tuturnya.

Turnbull tidak mengungkapkan apakah Trump memberinya informasi yang sama seperti yang diberikannya kepada Lavrov. Sebab seorang sumber dari Washington Post yang menerbitkan laporan tentang dibocorkannya rahasia AS, mengatakan Trump lebih banyak memberikan informasi sensitif terkait terorisme kepada Rusia dibandingkan sekutunya sendiri.

Pada Maret lalu, AS memberlakukan peraturan tentang pelarangan laptop dan perangkat elektronik lainnya yang lebih besar dari ponsel untuk dibawa kabin pesawat. Pelarangan tersebut berlaku bagi maskapai yang membuka rute penerbangan dari negara-negara mayoritas Muslim dan Timur Tengah menuju AS.

Kebijakan tersebut kemudian diikuti oleh Inggris. Alasannya serupa, yakni untuk keamanan dan antisipasi serangan teror. Sebab ketika kebijakan tersebut disosialisasikan, informasi intelijen menyebut bahwa milisi al-Qaeda mencoba menanam bahan peledak di perangkat elektronik.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement