Selasa 16 May 2017 16:28 WIB

29 Juta Anak Timteng dan Afrika Utara Hidup Miskin

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Anak-anak Suriah.
Foto: RZ
Anak-anak Suriah.

REPUBLIKA.CO.ID, RABAT -- United Nations Childrens Fund (UNICEF) mengatakan, 29 juta anak-anak yang tersebar di negara-negara Timur Tengah (Timteng) dan Afrika Utara hidup dalam kemiskinan. Anak-anak di sana diklaim kekurangan persyaratan minimum dalam kebutuhan hidup paling dasar, seperti pendidikan dasar, makanan bergizi, perawatan kesehatan, air bersih, sanitasi, dan akses terhadap informasi.

Direktur Regional UNICEF untuk Timteng dan Afrika Utara Geert Cappelaere mengatakan di negara-negara terkait kemiskinan anak lebih banyak daripada pendapatan keluarga. "Ini tentang akses terhadap pendidikan berkualitas, perawatan kesehatan, rumah dan air bersih. Ketika anak-anak dicabut dari dasar-dasar (kebutuhan) itu, mereka berisiko terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang kejam," ungkapnya dalam konferensi regional tentang kemiskinan anak yang digelar di Rabat, Maroko, seperti dilansir laman resmi UNICEF.

Informasi tingkat negara dalam hal kemiskinan anak telah dikumpulkan untuk pertama kalinya di wilayah Timteng dan Afrika Utara. Terkait hal ini, UNICEF menemukan beberapa fakta dari studinya di lapangan. Pertama, kurangnya pendidikan sebagai salah satu pendorong utama ketidaksetaraan dan kemiskinan bagi anak-anak.

Anak-anak yang tinggal di dalam rumah tangga yang dikepalai oleh anggota keluarga tak berpendidikan, dua kali lebih mungkin untuk hidup dalam kemiskinan. Sementara itu, anak berusia 5-17 tahun tidak terdaftar di sekolah atau telah kehilangan dua jenjang di belakangnya.

Kemudian, hampir setengah dari semua anak yang didata UNICEF tinggal di hunian yang tidak memadai. Dengan lingkungan yang sangat padat. Hampir setengah dari semua anak juga tidak diimunisasi penuh atau lahir dari ibu yang tidak mendapatkan cukup asuhan prenatal atau bantuan persalinan.

Satu dari lima anak dipaksa berjalan kaki lebih dari 30 menit untuk mengambil air atau mengonsumsi air yang tidak aman. Lebih dari sepertiga anak tinggal di rumah tanpa air keran.

Menurut Cappelaere tidak adanya pemahaman utuh tentang realitas anak-anak, termasuk risiko yang tak terllihat atau tersisihkan, menyebabkan kebijakan atau tindakan yang diambil oleh negara-negara terkait berisiko gagal untuk meangani kemiskinan anak secara efektif. Sebab negara-negara tersebut, yang rata-rata tengah didera konflik, memang tidak mengumpulkan data kemiskinan secara konsisten. Sedangkan kekerasan dan pemindahan yang meluas terus berlanjut.

Oleh sebab itu, Cappeleare menilai penanganan kemiskinan, terutama yang dialami anak-anak, membutuhkan sinergi. Yakni kombinasi kepemimpinan yang sejati, investasi publik serta swasta, keberanian pemerintah, masyarakat sipil, individu, sektor swasta, dan masyrakat internasional. "Kembalinya investasi kepada anak-anak yang paling rentan sekarang adalah ranah yang damai dan sejahtera di masa depan," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement