REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Media Pemerintah Cina, People's Daily, pada Rabu (17/5), mengkritik Amerika Serikat (AS) karena menghalangi upaya menghentikan ancaman siber global. Kritik ini disampaikan setelah serangan ransomware WannaCry terjadi pada Jumat (12/5) dan menginfeksi sekitar 300 ribu komputer di seluruh dunia, termasuk Cina.
People's Daily menyebut badan kriptografi AS, yakni National Security Agency (NSA), harus ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya serangan siber global pada Jumat lalu. NSA layak dipersalahkan karena alat peretas yang digunakan dalam serangan global diyakini dirancang oleh NSA, namun berhasil dicuri dan disebar secara daring pada April lalu.
"NSA harus menanggung beberapa kesalahan karena serangan siber ini, yang menargetkan kerentanan pada sistem Microsoft dan telah menginfeksi (perangkat komputer) di 30 ribu organisasi di Cina pada Sabtu (13/5)," kata People' Daily dalam tajuknya.
People's Daily menilai, kegiatan NSA yang membangun alat peretas untuk menyadap data dari para pengguna komputer merupakan tindakan yang menghambat upaya memerangi kejahatan siber. "Upaya terpada untuk mengatasi kejahatan siber telah terhambat oleh tindakan AS," katanya.
Otoritas siber Cina memang telah berulang kali mendorong keseimbangan yang adil dalam pemerintahan siber global. Namun, AS disebut terlalu mendominasi hal ini dan menyebabkan ketimpangan.
Pada serangan siber global Jumat lalu, misalnya. Serangan tersebut terjadi ketika Cina bersiap untuk menerapkan undang-undang keamanan siber. Namun kelompok bisnis AS Undang-Undang itu akan mengancam operasi perusahaan asing di Cina. Dalam konteks ini yakni peraturan tentang penyimpanan data lokal yang ketat dan pengawasan yang komprehensif.
Padahal, Cina berupaya menerapkan undang-undang tersebut karena proliferasi berita palsu atau hoaks yang tersebar di situs media sosial AS. Hal ini menjadi alasan Cina memblokir situs-situs media sosial AS dan hendak menerapkan undang-undang keamanan siber.
Serangan siber global ransomware pada Jumat (12/5) melumpuhkan ratusan ribu komputer di hampir 150 negara. Menurut Microsoft, serangan tersebut memanfaatkan alat peretasan NSA yang bocor pada April lalu, dilansir Reuters.