REPUBLIKA.CO.ID, GAO -- Presiden Prancis Emmanuel Macron melakukan perjalanan pertamanya sebagai pemimpin negara itu ke Gao, Mali, Jumat (19/5). Di sana, ia menemui pasukan yang dikerahkan untuk mendukung pemerintah dalam memerangi kelompok militan.
Sejak empat tahun lalu, Prancis telah mendukung intervensi militer di Mali. Namun, situasi keamanan di salah satu negara Afrika itu terus memburuk dan belum mengalami perbaikan secara signifikan hingga saat ini.
Situasi di wilayah utara Mali adalah yang paling mengkhawatirkan. Di sana, kelompok gerilyawan terus memegang kendali.
Sejak Maret lalu, Pemerintah Mali juga mengalami kudeta. Militer negara itu terus berjuang menumpas kelompok garis keras dan pasukan pemberontak Tuareg yang ingin membuat wilayah kemerdekaan sendiri di Bamako.
Macron menjadi presiden baru Prancis yang memiliki prioritas pemberantasan terorisme. Ia juga telah berjanji memperkuat dukungan bagi negara-negara sekutu di Afrika Barat.
Dalam kunjungannya ke Gao, Macron akan bertemu sekitar 1.600 personel militer. Pria berusia 39 tahun itu juga dijadwalkan mengadakan pembicaraan dengan Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita.
Sejumlah pejabat Prancis mengatakan Macron ingin menyempurnakan kebijakan untuk memastikan negara-negara sekutu mendapat bantaun lebih banyak. Ia disebut tak akan berfokus hanya pada aspek keamanan.
"Tujuan kami dalam jangka pendek adala membantu pasukan regional menguasai kembali wilayah mereka, khususnya zona perbatasan yang rapuh," ujar pejabat tersebut.
Prancis telah menyebar sekitar 4.000 tentara di seluruh wilayah Mali sejak mendukung intervensi militer empat tahun lalu. Dari sumber pejabat itu, Prancis kemungkinan akan mempertahankan pasukan di wilayah-wilayah itu dalam waktu yang tidak terbatas.