REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Wakil utusan Korea Utara (Korut) di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada Jumat (19/5) mengatakan bahwa sangat konyol menghubungkan Pyongyang dengan serangan siber Ransomware WannaCry, yang merebak di dunia seminggu lalu, atau dengan peretasan terhadap pakar PBB pemantau pelanggaran sanksi.
Virus WannaCry menjangkiti lebih dari 300 ribu komputer di 150 negara. Program jahat itu mengancam mengunci akses data komputer korban, yang belum membayar tebusan dalam satu minggu setelah terjangkiti.
Peneliti dari Prancis mengatakan pada Jumat (19/5) bahwa mereka menemukan kesempatan terakhir untuk menyelamatkan arsip tersandi. "Mengaitkan dengan serangan siber, yang terkait dengan Korut, itu hal sangat menggelikan," kata Wakil Duta Besar (Dubes) Korea Utara di PBB Kim In-ryong pada jumpa pers ketika ditanya apakah Pyongyang terlibat dalam serangan WannaCry dunia atau peretasan PBB.
"Kapan pun sesuatu aneh terjadi, itu adalah cara stereotip Amerika Serikat dan kelompok musuh, yang memulai kampanye anti-Korut, yang sengaja dikaitkan dengan Korut," kata Kim menambahkan.
Laboratorium Symantec dan Kaspersky pada Senin (15/5) menyampaikan bahwa beberapa kode dalam versi sebelumnya dari perangkat lunak WannaCry juga muncul dalam program yang digunakan oleh Grup Lazarus, yang menurut peneliti dari banyak perusahaan dikenali sebagai operasi peretasan oleh Korea Utara.
Juru bicara misi Italia ke PBB, yang memimpin komite sanksi Korut Dewan Keamanan PBB mengatakan pada hari Jumat (19/5) bahwa anggota panel pakar PBB yang memantau pelanggaran sanksi telah diretas. Tidak ada rincian lebih lanjut tentang tingkat peretasan atau yang mungkin bertanggung jawab dalam kejadian tersebut.
Dewan Keamanan PBB pertama kali memberlakukan sanksi terhadap Korea Utara pada 2006 dan memperkuat langkah tersebut dalam menanggapi lima uji nuklir di negara tersebut dan dua peluncuran roket jarak jauh. Pyongyang mengancam melakukan uji nuklir keenam.