REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Menteri Dalam Negeri Iran Abdolreza Rahmanifazli mengatakan pada Sabtu (20/5), Presiden Iran Hassan Rouhani memenangkan pemilihan presiden negara itu dengan merebut sekitar 57 persen dari total suara.
"Dari sekitar 41,2 juta total pemungutan suara, Rouhani mendapat 23,5 juta dan memenangkan pemilihan," kata Rahmanifazli dalam sambutannya yang ditayangkan oleh televisi pemerintah.
Saingan garis keras Rouhani, Ebrahim Raisi mendapat 15,8 juta suara. Masyarakat Iran yang merindukan kebebasan di dalam negeri dan sedikit isolasi di luar negeri telah dengan tegas memilih kembali Presiden Hassan Rouhani, melemparkan sebuah tantangan kepada ulama konservatif yang masih memegang kendali tertinggi.
Meskipun kekuasaan presiden terpilih dibatasi oleh pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, skala kemenangan Rouhani memberi mandat yang kuat untuk menghadirkan sebuah reformasi. Saingan Rouhani,Raisi adalah anak didik Khamenei, yang diprediksi oleh media Iran sebagai penerus potensial menggantikan pemimpin tertinggi berusian 77 tahun yang telah berkuasa sejak 1989.
Terpilihnya ia kembali kemungkinan akan melindungi perjanjian nuklir pemerintah Rouhani yang mencapai kekuatan global pada 2015, di mana sebagian besar sanksi internasional telah dicabut dengan timbal balik berupa pembatasan program nuklir Iran.
Baca: TV Iran Umumkan Rouhani Kembali Jadi Presiden
Namun peristiwa ini memberikan kemunduran bagi Garda Revolusi, kekuatan keamanan yang kuat mengendalikan kerajaan industri yang luas di Iran. Mereka telah memberikan dukungannya di belakang Raisi untuk melindungi kepentingan mereka.
"Saya sangat senang atas kemenangan Rouhani kami menang kami tidak menyerah pada tekanan, kami menunjukkan kepada mereka bahwa kami masih ada," kata Mahnaz, 37 tahun, seorang pemilih reformis yang dihubungi melalui telepon pada Sabtu.
"Saya ingin Rouhani melaksanakan janji-janjinya," tambahnya.
Meskipun demikian, Rouhani masih menghadapi pembatasan yang sama terhadap kemampuannya untuk mengubah Iran, yang mencegahnya memberikan perubahan sosial substansial dalam masa jabatan pertamanya dan menggagalkan usaha reformasi oleh salah satu pendahulunya, Mohammad Khatami. Pemimpin tertinggi memiliki hak veto atas semua kebijakan dan kontrol tertinggi pasukan keamanan. Rouhani tidak dapat menjamin pembebasan pemimpin reformis dari tahanan rumah, dan media dilarang menerbitkan kata-kata atau gambar pendahulunya, reformis Khatami.
"Pemilihan presiden selama dua dasawarsa terakhir hanya berlangsung beberapa hari setelah euforia lalu diikuti oleh kekecewaan yang panjang," kata Karim Sadjadpour, rekan senior Carnegie Endowmen yang fokus pada Iran.
"Demokrasi di Iran diperbolehkan berkembang hanya beberapa hari setiap empat tahun, sementara otokrasi selalu hidup," tambahnya.
Presiden yang terpilih kembali juga harus mengatur hubungan yang sulit dengan Washington, yang tampaknya paling ambivalen mengenai kesepakatan nuklir yang ditandatangani oleh mantan presiden AS Barack Obama. Presiden Donald Trump berulang kali menggambarkannya sebagai salah satu transaksi terburuk yang pernah ditandatangani, meskipun pemerintahannya mengesahkan kembali keringanan dari sanksi pada minggu ini.
Trump tiba pada Sabtu di Arab Saudi, kunjungan tersebut merupakan perjalanan internasional pertamanya sejak menjabat pada Januari lalu. Arab Saudi adalah musuh terbesar Iran di wilayah itu dan mereka menyesalkan terjadinya kesepakatan nuklir tersebut.