REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa disebut-sebut sebagai obat segala penyakit. Bagaimana dengan stres atau depresi?
Dr Shabah al-Baqir dan kawan-kawannya dari Fakultas Kedokteran Universitas King Saud pernah melakukan studi tentang pengaruh puasa pada hormon-hormon pemicu stres. Penelitian ini dilakukan pada tahun 1990 silam.
Ada tujuh orang pria berpuasa yang terlibat sebagai sampel. Selama bulan Ramadhan, tingkat hormon prolaktin, insulin, dan kortesolnya diukur secara teratur. Sebagai perbandingan, diambil data hormon saat mereka tidak puasa.
Dari studi tersebut, diketahui adanya perubahan signifikan pada ketiga hormon di atas saat puasa. Pada hari biasa, prolaktin mengalami kenaikan pada sore sekitar pukul empat.
Sementara di bulan Ramadha, prolaktin baru mencapai puncak pada pukul sembilan malam. Hormon ini menurun di batas terendah pada pukul empat pagi hari.
Pada insulin pun ditemukan tren yang sama. Sementara kortesol yang biasanya berada di puncak pada pukul sembilan pagi di hari biasa, baru meningkat di pukul sembilan malam saat berpuasa.
Dari hasil ini, tim peneliti pun menyimpulkan puasa bukan kegiatan yang memberatkan hingga memicu stres. Malah sebaliknya, puasa bisa menekan hormon-hormon ini.
Studi tersebut juga menyebut tidak ada perubahan signifikan pada jumlah sel darah putih yang jadi indikator stres. Sel darah putih biasanya meningkat saat menghadapi ketegangan emosi atau saraf.