Selasa 23 May 2017 18:45 WIB

Defisit Pendapatan BPJS Kesehatan Membengkak

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
 Warga mengantre untuk mendaftar kartu BPJS Kesehatan di Kantor BPJS Cabang Jakarta Selatan. ilustrasi   (Republika/ Yasin Habibi)
Warga mengantre untuk mendaftar kartu BPJS Kesehatan di Kantor BPJS Cabang Jakarta Selatan. ilustrasi (Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren defisit program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus menerus hingga 2018 mendatang. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatat, defisit pendapatan di tahun 2014 lalu mencapai Rp 1,54 triliun.

Angka defisit meningkat hingga Rp 5,85 triliun pada 2015, dan terus membengkak menyentuh Rp 9,7 triliun pada 2016. Bahkan, tahun 2018 defisit pendapatan diprediksi menyentuh Rp 10 triliun.

Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Rofyanto Kurniawan menyebutkan, tren defisit yang terus bertahan ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya kepesertaan, terutama dari kalangan yang masih sehat.

Menurutnya, peserta BPJS Kesehatan kebanyakan berasal dari pihak-pihak yang baru bergabung setelah ditemukan menderita penyakit kronis. Kondisi ini, lanjut Rofyanto, memaksa pemerintah untuk memikirkan jalan keluar atas defisit program JKN ini.

Salah satu solusi yang bisa digunakan pemerintah sebetulnya adalah sumber pendanaan dari penerimaan pajak dan cukai rokok. "Ada uang dari pajak dan cukai rokok sekitar Rp 150 triliun , ada lagi PPh rokok. Faktanya Pemda masih kesulitan untuk realisasikan dana pajak rokok," ujar Rofyanto, Selasa (23/5).

Apalagi, pemerintah daerah juga masih memiliki Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) sebesar Rp 3 triliun yang bisa digunakan untuk BPJS. Namun di antara beberapa solusi yang berasal dari pendanaan pihak lain, Rofyanto meminta BPJS untuk bisa disiplin dalam menjaga kinerja keuangan.

BPJS, menurutnya, harus bisa menetapkan standar penanganan kesehatan dan pelayanan terhadap pesertanya. "Kalau disiplin bisa hemat Rp 1 triliun-1,5 triliun," ujar dia.

Tak hanya soal rendahnya kepesertaan BPJS Kesehatan, Rofyanto juga menilai bahwa belum semua daerah mengintegrasikan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan JKN. Catatan pemerintah, peserta yang berasal dari penduduk miskin dan tidak mampu mencapai 109 juta atau 62 persen dari total. Sementara peserta pekerja penerima upah (PPU) yang rutin membayar iuran hanya 40,2 juta atau 23 persen.

"Jumlah Puskesmas dan tenaga kesehatan masih minim. Ketersediaan obat yang belum memadai sehingga ada yang harus dibiayai sendiri oleh peserta," katanya.

Selain itu, menurut Rofyanto, pelaksanaan JKN masih terkendala oleh akses infarstruktur dan transportasi yang terbatas untuk menujud aerah terpencil. apalagi, pembayaran iuran oleh Pemda kepada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) terkadang masih terkendala.

"Harus ada pembagian beban iuran antara penduduk miskin dengan yang kaya. Maka iuran untuk masyarakat kelas menengah ke atas bisa ditingkatkan. Sementara untuk yang kelas menengah ke bawah, iurannya tetap," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement