REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Himpunan Petani Cengkeh Mapalus Sulawesi Utara, Yusak Horman menolak keras Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Sebab menurut Yusak, FCTC jelas-jelas mematikan keberlangsungan hidup petani cengkeh dan tembakau.
“Jika Indonesia aksesi FCTC, maka negara secara tidak langsung telah mematikan dua juta petani tembakau, 1,2 juta petani cengkeh, dan ratusan ribu bahkan jutaan orang yang baik langsung maupun tidak langsung terlibat di sektor pertembakauan,” kata Yusak dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (23/5).
Menurut Yusak, penolakan FCTC merupakan salah satu hasil rapat kerja nasional (Rakernas) II beberapa waktu lalu di Sulawesi Utara. Hasil Rakernas lainnya, kata dia, petani cengkeh meminta Negara hadir dan peduli dengan petani cengkeh dan tembakau serta keberpihakan kepada industri kretek nasional.
Ditegaskan Yusak, kretek adalah hasil karya rakyat Indonesia. Berbicara tentang industri tembakau, lanjut dia, juga tidak bisa dipisahkan dari industri kretek nasional. Selain itu jika berbicara tentang kretek juga tidak bisa dipisahkan dari proses panjang sejarah hingga saat ini. Ia menegaskan, kretek berbeda dengan rokok putih.
"Kretek menjadi bukti kekayaan produk budaya (heritage) Indonesia. Kretek menggunakan tembakau lokal, cengkeh, klembak, menyan, dan merupakan produk asli Indonesia," ucap dia.
Dalam konteks inilah, petani cengkeh dan pemangku kepentingan terkait berharap Negara hadir untuk melindunginya, salah satunya tidak mengaksesi FCTC. Hal ini sejalan dengan sikap Presiden Jokowi beberapa waktu lalu yang tidak ingin tergesa-gesa mengaksesi FCTC demi kepentingan nasional.
“Sikap negarawan Presiden Jokowi inilah yang seharusnya menjadi tauladan bagi para pemangku kepentingan demi mewujudkan kemandirian ekonomi nasional sebagaimana visi Nawacita,” ujar dia mengakhiri.