REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf menduga kuat, pencabutan banding oleh keluarga terpidana kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah strategi untuk memohon grasi pada Presiden. Seperti yang tertulis dalam Undang-undang No.22 tahun 2002 tentang Grasi, terutama pasal 2 ayat 2.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
"Cocoklah sudah, saya duga kuat nanti Ahok akan meminta grasi pada presiden. Meskipun nanti yang mengajukan grasi adalah kuasa hukum atau keluarga, dengan tanpa persetujuan yang terpidana," tegas Warlan.
Menurut dia, upaya pencabutan banding oleh Ahok dengan alasan untuk kepentingan umum, bangsa dan negara, agar tidak ribut, tidak gaduh, sebetulnya itu hanyalah retorika. Untuk mencuri simpatik masyarakat, Ahok disebut Hero. Padahal Ahok akan menempuh jalan lain, bukan upaya hukum lagi tapi upaya istimewa lewat grasi.
Grasi diartikan sebagai sebuah putusan pengampunan terhadap putusan hakim yang sudah inkrah, dengan menghapus seluruh hukuman, sebagian atau mengubah bentuk dan sifat hukumannya. Sehingga, kata Warlan, nanti Presiden pun tidak dikatakan intervensi terhadap pengadilan dan grasi dilindungi Undang-Undang.
"Trik juga kan! Jika nanti grasi, kemungkinan presiden akan putuskan antara dua hal, menghapuskan hukuman Ahok, atau kembali pada putusan jaksa. Yang ujung-ujungnya Ahok bebas, dan tetap menjabat jadi Gubernur," jelas Warlan.