REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa menjadi sia-sia ketika kita hanya bisa menahan lapar dan haus. Allah juga memerintahkan kita untuk menahan amarah atau emosi. Artinya, orang yang berpuasa diminta untuk menghindari pertengkaran.
Dalam bukunya 'Terapi Puasa', Dr. Abdul Jawwad ash-Shawi menjelaskan, ketika seseorang yang sedang puasa emosi dan marah, maka adrenalin akan meningkat tajam. Bahkan, jumlahnya 20 kali lipat lebih banyak dari saat tidak puasa.
Jika marah dan pertengkaran terjadi pada masa penyerapan, maka proses pencernaan makanan akan terganggu. "Karena adrenalin ini bekerja mengendurkan otot pelembut di sistem pencernaan," katanya.
Adrenalin juga memperkecil kontraksi kantong empedu, menyempitkan pembuluh darah koroner, meningkatkan tekanan darah arterial, hingga menambah volume darah yang mengalir ke jantung. Proses penyerapan makanan akan terhambat jika seseorang yang sedang puasa marah.
Jika marah saat siang atau sore hari, di masa pascapenyerapan, maka sisa cadangan glikogen yang tersimpan akan terurai. Protein tubuh akan dikonversi jadi asam amino dan lebih banyak asam amino yang teroksidasi.
Percepatan proses ini menyebabkan kita lebih cepat lelah karena cadangan glukosa terus menipis menjelang berbuka. Jika melebihi batas, glukosa-glukosa di dalam tubuh bisa jadi terbuang melalui urin dan keringat.
Karena marah akan membuat kita jadi lebih berkeringat. Sehingga tubuh akan kehilangan energi yang seharusnya dihemat. Maka tidak heran jika Rasulullah SAW menyarankan kita untuk menghindari amarah, emosi, pertengkaran.
Diriwayatkan Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda "Jika salah seorang kalian berpuasa, maka hendaklah ia tidak berkata atau berbuat jorok, berteriak-teriak, membuat gaduh. Kemudian jika ada seorang yang memaki-maki atau menantang berkelahi, maka hendaklah ia mengatakan 'saya sedang puasa'." (HR Bukhari dan Muslim).