REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian mengatakan lebih dari 120 anggotanya menjadi korban aksi teror kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Dengan perincian, 40 meninggal dan 80 mengalami luka-luka.
"Mari kita sama-sama menghadapi mereka. Mereka kelompok kecil, memiliki ideologi khusus. Kita perlu bersama sama untuk menekan mereka, menetralisir mereka," kata Tito di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Jumat (26/5).
Kelompok JAD diidentifikasi sebagai pelaku pengeboman di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (24/5) malam. Tiga orang polisi gugur.
Menurut Tito, kelompok yang diduga terafiliasi dengan ISIS ini kerap menyasar anggota kepolisian. Sebab, kepolisian termasuk kelompok kafir harbi karena melakukan penegakan hukum terhadap terorisme, termasuk kerap melakukan penangkapan dan upaya paksa.
Tito menambahkan kelompok yang kerap melakukan teror biasanya menganut doktrin takfiri. Doktrin ini meyakini segala sesuatu yang bukan berasal dari Tuhan adalah haram.
Karena itu, dia menuturkan, anggota kelompok ini juga kerap melabeli Muslim yang tidak sepaham sebagai kafir. "Bagi mereka, polisia adalah kafir harbi karena memerangi mereka," kata dia.
Tito menambahkan kepolisian akan terus memburu anggota kelompok ini. "Saya yakin kemampuan kita, negara, TNI dan Polri masih jauh di atas mereka. Masyarakat tidak perlu panik. Kita akan lakukan tugas sebaiknya," kata dia.
Kepolisian mengidentifikasi JAD bertanggung jawab dalam serangkaian aksi teror di Indonesia seperti bom Thamrin pada Januari 2016 dan Mapolresta Solo pada Juli 2016.
Tito mengatakan JAD terafiliasi dengan Bahrun Naim yang bergabung dengan ISIS di Suriah. Dia menambahkan Naim mengendalikan jaringan teror di Indonesia dari Rakha, Suriah.
Karena itu, Tito menyatakan, pengeboman di Terminal Kampung Melayu bukan kasus lokal melainkan fenomena global. Serangan di Jakarta terkait dengan bom yang meledak pada konser penyanyi asal Amerika, Ariana Grande, di Manchester, Inggris, 22 Mei 2017, dan serangan di Maute, Filipina, 23 Mei 2017.
Dia menerangkan, ISIS sedang ditekan oleh Rusia dan negara-negara barat. "Terjadi fenomena yang namanya desentralisasi. Ketika sentralnya diserang, mereka perintahkan sel pendukung di berbagai negara untuk melakukan serangan dan mencari perhatian.