REPUBLIKA.CO.ID, MANILA – Pemerintah Filipina membatalkan perundingan perdamaian dengan pemberontak pimpinan Maois di Belanda pada Sabtu (27/5) sesudah Tentara Rakyat Baru (NPA) meningkatkan serangan di pedesaan. Kedua pihak terlibat dalam pembicaraan perdamaian, yang ditengahi Norwegia untuk mengakhiri perang hampir lima dasawarsa, yang menewaskan lebih dari 40.000 orang.
Pada putaran terakhir pembicaraan dengan Kubu Demokratiik Bangsa, lengan politik NPA, penasihat presiden, Jesus Dureza menyatakan, pemerintah menunda perundingan. Alasannya, pemberontak tidak membalas upaya perdamaian Presiden Rodrigo Duterte.
Dengan membaca pernyataan, Dureza mengatakan, pembicaraan akan dilanjutkan hanya bila ada "Tanda jelas, yang memungkinkan lingkungan dapat mencapai perdamaian adil dan berkelanjutan di negeri itu melalui perundingan perdamaian". Dureza menyatakan, keputusan itu diambil saat pemimpin pemberontak memerintahkan gerilyawan meningkatkan serangan sesudah keadaan darurat diberlakukan pada Selasa (23/5) malam di Pulau Selatan.
Ini adalah kedua kali pemerintah menghentikan pembicaraan perdamaian dengan pemberontak komunis atas serangan gerilya terhadap tentara dan usaha, seperti, pertambangan dan perkebunan. Duterte sangat ingin mengadakan kesepakatan perdamaian dengan komunis. Namun, ia marah karena kelompok itu terus melakukan kekerasan. Penangguhan perundingan perdamaian tersebut muncul saat ketakutan tumbuh seiring dengan kemunculan radikalisme di wilayah Moro di Filipina Selatan.
Perunding utama pemberontak, Luis Jalandoni, menyatakan tuntutan pemerintah untuk menghentikan serangan gerilya ‘konyol’ dan ‘tidak dapat diterima’ karena tentara menyerang masyarakat pedesaan tempat pemberontak itu berada. "Tentara harus menghentikan pelanggaran hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan internasional. Itu tidak dapat kami terima," katanya kepada wartawan.