REPUBLIKA.CO.ID, Umat Nasrani di Barat sangat terguncang dengan jatuhnya Konstantinopel ke tangan umat Islam. Mereka dilanda rasa takut jika sewaktu-waktu pasukan Muslim akan menyerbu kawasan Eropa lain dari arah Istanbul (Konstantinopel).
Dikutip dari buku Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah karya Ali Muhammad Ash-Shalabi, disebutkan para penyair dan sastrawan Barat berusaha sekuat mungkin meniupkan api kebencian dan semburan amarah ke dalam dada setiap warga Nasrani Eropa kepada Islam.
Begitupun dengan Paus Nicholas V yang merasa sangat terpukul dengan kabar jatuhnya Konstantinopel. Dia mengeluarkan semua tenaga, energi, waktu dan semangat untuk menyatukan semua warga di Italia, serta mengobarkan semangat berperang melawan kaum Muslim. Inilah awal benih-benih tercetusnya perang salib yang berhasil merebut kembali Konstantinopel dari tangan Islam.
Saat dihubungi Republika.co.id, pakar sejarah kebudayaan Islam dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Moeflich Hasbullah mengatakan, faktor penyebab Islam tidak bertahan lama di Eropa ketika itu, karena proses Islamisasi diraih dengan jalan peperangan. Yakni ketika Islam merebut Konstantinopel dari Kaisar Byzantium.
Moeflich menjelaskan proses Islamisasi bisa dilakukan dengan tiga jalur, yakni jalur struktural, perang, dan kultural. Struktural dilakukan melalui jalur pemerintahan, dan kultural dengan penyaluran budaya seperti pernikahan.
"Jalur peperangan ini yang menjadikan Islam tidak kuat berakar di suatu tempat, termasuk Konstantinopel (Eropa). Jika di atasnya habis, maka di bawahnya pun otomatis habis," kata Moeflich.
Namun, sejarah telah mencatat kejayaan Islam di Konstantinopel saat itu. Maka hingga kini, kata dia, peninggalan bersejarah pun masih bisa dijumpai di belahan Eropa.