REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengaku telah memperkuat patroli di wilayah laut dan darat Indonesia untuk mencegah anggota gerakan militan negara Islam (ISIS) dari Filipina, masuk ke Tanah Air.
"Kita perkuat patroli maritim, perkuat juga posisi di darat. Saya sudah berbincang dengan Panglima TNI dan Kapolri untuk dapat membendung kemungkinan adanya penerobosan ke Indonesia," ujar Menko Polhukam di Jakarta, Senin (29/5).
Mantan Panglima TNI ini juga menyatakan dukungannya terhadap Pemerintah Filipina, yang mengambil tindakan keras terhadap kelompok bersenjata Maute, yang terafiliasi dengan ISIS. "Kita dukung sepenuhnya pihak Filipina untuk segera melakukan satu serangan-serangan sistematis untuk memperkecil kemungkinan basis ISIS di Filipina Selatan itu," katanya.
Terkait keanggotaan ISIS, Menko Polhukam menerangkan kemungkinan adanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan organisasi radikal tersebut sangat besar. Apalagi, lanjut dia, saat ini ISIS telah menerapkan konsep divergensi, yakni mengundang dan mendatangkan simpatisan dari berbagai negara, untuk dimasukkan ideologi mereka, dan dilatih bertempur.
Selain itu, ISIS juga diketahui telah menyebarkan aktivis mereka ke seluruh dunia, termasuk Asia Tenggara. "Tercatat 500 orang dari Indonesia yang berangkat ke Syria untuk bergabung dalam konsep di sana. Boleh jadi aktivis ISIS ini telah disebar, dan yang ada di Filipina saat ini termasuk dari Indonesia," tuturnya pula.
Oleh karena itu, menurut Menko Polhukam, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah ditugaskan mencari tahu jumlah WNI yang terlibat dengan kelompok bersenjata tersebut, melalui sejumlah laporan dari negara-negara lain. "Tapi yang penting adalah bagaimana kita dapat membendung, jangan sampai basis itu menjalar ke Indonesia," jelas Wiranto.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte memberlakukan darurat militer di Mindanao, pada Selasa malam (23/5), menyusul baku tembak antara tentara Filipina dengan kelompok bersenjata Maute di Marawi, Filipina. Media lokal Filipina sebelumnya melaporkan baku tembak terjadi ketika polisi dan tentara bergerak untuk melaksanakan perintah penahanan seorang pemimpin kelompok Abu Sayyaf, Isnilon Hapilon. Kelompok Maute kemudian menyerbu Kota Marawi sebagai bentuk respons atas rencana penahanan tersebut.