REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Roichatul Aswidah mengingatkan fungsi TNI dan kepolisian masing-masing terkait perdebatan TNI yang perlu dimasukkan dalam peran pemberantasan terorisme. Keduanya memiliki peran yang berbeda. TNI, dengan UU-nya sendiri yakni UU 34/2004 bertugas untuk menjaga pertahanan negara.
Dalam aturan tersebut dijelaskan pula adanya operasi militer perang dan nonperang. Jika kemudian kepolisian memerlukan bantuan dalam pemberantasan terorisme, maka barulah TNI bisa masuk ke ranah tersebut lewat prosedur operasi nonperangnya.
"Pelibatan TNI ini kan ada UU TNI, jika memang diperlukan maka gunakanlah UU itu, yaitu pasal 7 ayat 2 dan 3 UU 34/2004. Ada operasi militer perang dan nonperang. Keputusan operasi militer selain perang itu harus tunduk pada keputusan politik negara," kata dia usai menghadiri diskusi publik soal HAM di Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (30/5).
"Kalau misalnya ada sesuatu yang mengancam pertahanan negara, maka ya harus libatkan TNI, dengan UU 34/2004 prosedurnya. Apabila kurang, maka bisa menyusun UU perbantuan TNI. Ini bisa untuk banyak hal termasuk untuk terorisme, juga bisa yang lain."
Dia menilai tindak pidana terorisme adalah bentuk tindakan kriminal. Karena itu, sudah semestinya ranah penanganannya pada kepolisian.
"Komnas HAM dalam hal ini menandakan bahwa tindak pidana terorisme adalah criminal justice system," tutur dia.
Kepolisian, menurut dia, adalah pemegang komando dalam urusan tindak pidana terorisme. Selama ini pula, banyak catatan kasus terorisme yang telah ditangani kepolisian. Adanya catatan penanganan kasus terorisme oleh kepolisian ini, bukan berarti harus dialihkan kewenangannya kepada TNI.
"Kepolisian memiliki catatan-catatan dalam pemberantasan terorisme. Catatan-catatan kepolisian itulah yang kemudian kita perbaiki. Jangan kemudian catatan kepolisian itu kita alihkan ke yang lain. Tidak begitu cara kita," ucap dia.