REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teroris sekarang ini di negara manapun sudah termasuk kategori kejahatan terhadap negara. Karena itu, pemberantasan terorisme tidak hanya membutuhkan penegakan hukum oleh aparat kepolisian, namun juga intelejen dan militer.
Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI TB Hasanuddin mengatakan ketiganya merupakan kekuatan utama yang digunakan dalam pemberantasan teroris. "Dibantu unsur lainnya," kata Hasanuddin melalui siaran pers yang diterima Republika, Selasa (30/5).
Dia memerinci setiap unsur memiliki perannya masing-masing. Kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan, aparat intelejen mendukung dengan data intelejen yang akurat. "Termasuk intelejen TNI," kata dia.
Menurut Hasanuddin, peran TNI tidak hanya menyediakan data intelejen namun juga melakukan upaya pencegahan. Upaya pencegahan ini antara lain deradikalisasi, pengawasan wilayah, dan bantuan informasi.
TNI juga memiliki satuan terlatih dalam hal perlindungan dan penindakan. TNI dapat berperan menghadapi infiltrasi dari luar dengan cara menjaga wilayah perbatasan yang rawan.
Hasanuddin menyatakan kemampuan-kemampuan itu membuat TNI dapat dikerahkan ke wilayah ZEE, laut bebas, atau ketika ada pembajakan pesawat umum. "Sekarang masalahnya, bagaimana mengkompilasikan semua kekuatan itu dengan tepat dan terkontrol," kata dia.
Hasanuddin menyatakan ada berbagai cara mengkompilasikan ketiga elemen tersebut agar penanggulangan terorisme menjadi efektif. Semua sangat tergantung pada jenis dan jumlah ancaman, luas wilayah, standar penangkalan, sumber daya yang dimiliki, dan political will negara masing-masing.
Usulan TNI mendapatkan peran dalam pemberantasan terorisme muncul dalam pembahasan revisi Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme. DPR dan pemerintah sedang membahas perubahan aturan tersebut.
Namun, keterlibatan TNI dalam upaya penanganan terorisme mendapatkan kritikan dari berbagai pihak. Sejumlah pihak khawatir pelibatan TNI justru akan melanggar hak azasi manusia dalam penanganan terorisme.
Dalam beberapa kesempatan, Setara Institute menyatakan TNI memiliki doktrin kill atau to be kill dalam menghadapi musuh. Karena itu, Setara mengkhawatirkan TNI akan bekerja dalam kerangka perang yang mengabaikan fair trial dan penghormatan hak azasi manusia.