REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam keras tindakan kekerasan yang dilakukan oleh petugas protokoler dan sekuriti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terhadap jurnalis Rakyat Merdeka Online (RMOL) Bunaiya Fauzi Arubone.
Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim mengatakan, kekerasan yang menimpa jurnalis ini mengancam kebebasan pers dan bertentangan dengan Undang-Undang Pers. AJI juga mendesak Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk mengusut kasus ini dan menyerat pelakunya ke pengadilan.
"Pelaku kekerasan terhadap jurnalis tidak bisa dibiarkan tanpa hukuman. Tidak ada yang kebal hukum di negeri ini," tegasnya dalam keterangan tertulis.
Nurhasim melanjutkan, tindakan petugas protokoler dan keamanan Kementerian PU sudah keterlaluan dan menunjukkan arogansi. Mereka bukan hanya tidak paham UU Pers tapi karena merasa dekat kekuasaaan sehingga melecehkan profesi jurnalis.
"Tindakan mereka menunjukkan pelaku tidak menghormati profesi jurnalis yang sedang bekerja untuk kepentingan publik," ujarnya.
Ia menjelaskan, dalam Pasal 4 UU Pers menyatakan untuk menjamin kemerdekaan pers, jurnalis berhak mencari, memperoleh, dan menyampaikan informasi yang didapat kepada publik. Pasal 8 juga menyatakan dalam melaksanakan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, dan kontrol sosial.
"Untuk itu AJI Jakarta menyatakan sikap, pertama mengecam keras tindakan kekerasan yang dilakukan oleh petugas protokoler dan sekuriti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terhadap jurnalis Rakyat Merdeka Online (RMOL) Bunaiya Fauzi Arubone. Jurnalis yang meliput sedang menjalankan amanat undang-undang, bukan sedang melakukan tindak kriminal," katanya.
Nurhasim melanjutkan, AJI mendesak Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk mengusut pelaku kekerasan terhadap jurnalis Rakyat Merdeka Online (RMOL) hingga menyeret pelaku sampai pengadilan. Kekerasan ini adalah tindakan yang bisa dijerat dengan pasal pidana dan termasuk tindakan yang menghalangi-halangi terlaksananya kemerdekaan pers.
"Pasal 18 UU Pers menyatakan menghalangi terlaksananya kebebasan pers bisa dipenjara dua tahun atau denda Rp 500 juta. AJI mendukung korban menempuh jalur hukum untuk mencari keadilan dalam kasus kekerasan ini," ungkapnya.
Ketiga, Mendesak Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuldjono untuk memberikan hukuman terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Hukuman ini akan mendorong pelaku dan petugas keamanan lainnya tidak mengulangi tindakan yang sama di masa depan.
"Bila tidak dihukum, bukan tidak mungkin kekerasan serupa akan berulang. Menteri juga harus mendidik anak buahnya agar mereka memahami UU Pers," tambahnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, kekerasan ini terjadi di Ruang Serbaguna Lantai 17 Gedung Utama Kementerian PUPR usai Maghrib, Rabu 31 Mei 2017. Peristiwa ini bermula saat Bunaiya hendak memotret Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuldjono yang membagikan plakat di acara pengukuhan Pengurus Badan Kejuruan Teknik Lingkungan Persatuan Insinyur Indonesia periode 2017-2020.
Tiba-tiba petugas protokoler Menteri menyuruh Bunaiya menyingkir karena hendak menaruh gelas. Namun Bunaiya meminta izin untuk memotret terlebih dahulu. Tapi petugas protokoler itu justru menghardiknya.
Merasa dihina, Bunaiya pun menanyakan maksud perkataan tersebut. Setelah itu, petugas protokoler malah mencekik sambil mendorongnya ke luar ruangan. Melihat kejadian itu, pelayan dan sekuriti pun mengerumuni Bunaiya sambil menghardik dan menggiringnya masuk lift untuk keluar walau korban telah menunjukkan bahwa dia adalah jurnalis yang sedang melakukan tugas.