REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Syafaruddin Alwi
Memasuki bulan Ramadhan 1438 H, sebagai bulan yang penuh ampunan dan rahmat Allah merupakan momentum yang baik untuk mengasah kembali pemikiran, tentang bagaimana meningkatkan komitmen, keterlibatan dalam arti luas dari setiap Muslim dalam berbagai status sosial dan eksistensi peran dalam masyarakat yang peduli terhadap praktik ekonomi nir-riba.
Dalam bulan Ramadhan ini kita dianjurkan untuk melakukan tadabbur Alquran termasuk dalam konteks topik tulisan ini yaitu ayat-ayat yang berkaitan dengan persoalan ekonomi umat dimana kemiskinan, kesenjangan pendapatan, kesenjangan distribusi sumber-sumber daya langka, distribusi kekayaan, dan kesempatan kerja saat ini masih tergolong tinggi.
Di dalam ekonomi nir-riba terdapat berbagai peran kelembagaan keuangan seperti perbankan syariah, BMT, lembaga zakat dan wakaf dan lembaga keuangan syariah lainnya yang semua itu ditujukan untuk menumbuhkan karakter ekonomi berbasis bagi hasil, profit loss sharing (PLS).
Dalam pemahaman yang dikenal luas adalah ekonomi model musyarakah dan mudharabah. Pertanyaan kritis dalam kaitan dengan praktik musyarakah dan mudharabah itu, mengapa kedua model itu masih kalah popular dibandingkan dengan praktik murabahah? Pertanyaan itu muncul dalam suatu diskusi terbatas penulis sebagai DPS dengan beberapa unsur pimpinan unit usaha syariah (UUS) BPD DIY Syariah beberapa waktu lalu ketika menerima tim supervisi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) DIY.
Persoalannya adalah bagaimana membumikan model ekonomi musyarakah dan mudharabah di negara kita ini? Pada tatanan konseptual sistem musyarakah dan mudharabah diyakini akan mampu mengatasi kesenjangan distribusi modal dengan mendorong tumbuhnya semangat kerja sama investasi antara pemodal kuat dengan pelaku bisnis yang lemah permodalan.
Tetapi berlangsungnya sistem kerja sama melalui akad musyarakah dan mudharabah memerlukan prasyarat yang konsisten yaitu kesamaan cara pandang bahwa investasi berdasarkan PLS di antara para pihak yang berakad adalah cara yang lebih berkeadilan dibandingkan dengan kerja sama (pinjam-meminjam modal) berbasis riba. Pada kenyataannya perekonomian yang berbasis interest rate (ribawi) kapitalistik yang mengabaikan keadilan distribusi kekayaan telah gagal membangun ekonomi nasional yang seharusnya semakin mampu mengatasi kesenjangan pendapatan, kemiskinan dan kesempatan kerja dalam masyarakat.
Terjaminnya kerja sama yang berkeadilan di antara pelaku ekonomi dalam berbagai kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi merupakan keniscayaan dan menjadi salah satu prinsip utama dalam ekonomika Islami yang berlandaskan nilai Tauhid dan persaudaraan. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran (QS An Nisaa Ayat 1): "Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan menggunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu".
Hambatan utama sampai saat ini adalah penerapan prinsip PLS melalui akad musyarakah dan mudharabah dengan segala konsekuensinya belum sepenuhnya diterima. Ada ambivalensi sikap dan pandangan terhadap tingkat bunga. Tingkat bunga perbankan konvensional masih dijadikan patokan menentukan besaran bagi hasil dan meniadakan kemungkinan bagi rugi. Efeknya, pembagian berbagi keuntungan murni berbasis besaran capital sharing yang menjadi prinsip kerja sama syariah belum bisa diterapkan secara konsisten dan konsekuen.
Diperlukan edukasi yang berkesinambungan melalui operasionalisasi konsep ekonomi syariah dengan indikator perilaku musyarakah dan mudharabah yang konsisten lewat peran berbagai lembaga keuangan syariah dan perbankan syariah. Dengan cara itu model musyarakah dan mudharabah akan semakin dirasakan penting dalam praktik ekonomi syariah khususnya perbankan syariah.