REPUBLIKA.CO.ID, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis tahun ini berkesempatan melakukan safari Ramadhan di Eropa. Ia pun menceritakan pengalamannya saat berada di Kota Berlin, Jerman pada Selasa (30/5).
Berikut pengalaman Kiai Cholil yang diceritakan kepada Republika.co.id, Kamis (1/6).
Hari ketiga perjalanan safari Ramadhan saya di Eropa menuju Jerman, sengaja saya naik kereta api dari Amsterdam ke Berlin. Transportasi kereta api lebih murah dan menambah pengalaman dan pemandangan selama dalam perjalanan. Walhamdulillah selain saya dapat mengunjungi banyak tempat sejarah di Ibu Kota Jerman, seperti tembok Berlin, museum dan Universitas Humboltd juga bertemu dengan beberapa komunitas Muslim di Jerman.
Pada bulan Ramadhan mudah sekali bersilaturrahim dengan masyarakat Muslim di Jerman. Karena, saat jelang berbuka puasa banyak berkumpul di masjid. Seperti pemuda Muslim Eropa mengadakan kajian di Masjid Al Falah. Masjid ini adalah tempat yang dikelola oleh masyarakat muslim Indonesia.
Awalnya, Masjid Al Falah adalah berupa dua tempat pertokoan dan perkantoran di tengah Kota Berlin yang disewa selama 20 tahun oleh masyarakat Muslim Indonesia. Kemudian dalamnya diubah menjadi masjid dan tempat kajian-kajian ke-Islaman.
Dari masjid inilah banyak melahirkan beberapa kelompok kajian dan acara tradisi keagamaan. Bahkan ada kelompok pengajian yg dibuat secara pindah-pindah dari rumah ke rumah jamaah untuk membangun keakraban dan mengisi kekosongan rohani.
Di antara pengajian yang rutin dilaksanakan di masjid adalah kajian rutin keagamaan menjelang Maghrib. Kajian ini memfokuskan pada pendalaman ilmu agama seperti kajian Ahlul Hiasab. Kajian ini diikuti oleh orang yang suka merokok dan awalnya kurang sadar keagamaan, yang kemudian ingin belajar agama lebih mendalam dan menjalankannya lebih baik.
Ada Hizbut Tahlil Berlin, ialah kelompok wiridan, bacaan surat Yasin dan tahlil yg dilaksanakan dua minggu sekali. Majelis ini diharapkan dapat mengisi kekeringan rohani masyarakat yang hidup di negara sekuler.
Pada Bulan Ramadhan, di hari ketiga, saya sempat mengisi pengajian di hadapan masyarakat Indonesia dan pemuda Muslim Eropa di Masjid Al Falah. Masjid yang mungil ini mampu menanpung sekitar 70 orang. Seusai pengajian dilanjutkan buka puasa bersama.
Acara buka puasa bersama inilah yang sangat digemari oleh komunitas Muslim di Berlin. Selain dapat membangun keakraban juga dapat menemui sajian makanan khas Nusantara. Bagi masyarakat Indonesia tradisi buka bersama dapat mengobati rasa kangen dengan suasana dan makanan yang khas Tanah Air.
Ketepatan di Berlin ada restoran Nusantara yang tak jauh dari Masjid Al Falah. Warung Tengal, begitu teman-teman mahasiswa Indonesia di Berlin menyebutnya adalah warung yang dibuka dan dikelola oleng Bapak Bram Fernandin, anggota Banser NU PCI Jerman. Makanan khas Nusantara dapat dibeli di warung ini. Mulai dari mendoan, soto, telur asin dan menu-menu lainnya tersedia. Bahkan tempe yang ia sajikan itu adalah hasil olahan sendiri di warung Nusantara.
Warung Nusantara yang telah mendapat sertifikasi halal inilah yang menjadi menu favorit di Berlin bagi masyarakat Melayu meskipun tak sedikit juga masyarakat Berlin dan sekitarnya yang menyicipi menu makanan khas Nusantara. Warung Nusantara inilah yang sering kali menjadi tempat kumpul masyarakat Indonesia untuk melapas kangen makanan Indonesia dan suasana kampung halaman.
Ke-Islaman dan makanan Nusantara acapkali dielaborasi dengan budaya keagamaan di Berlin. Pola ke-islaman yang dikombinasi dengan budaya bahkan seni menjadikan cara ber-Islam yang lebih menyegarkan dan mengakrabkan. Gaya Islam yang akulturasi dengan budaya bahkan kesenian nusantara dapat mengurangi kecurigaan kepada Islam dan menghindari dari Islam phobia di Berlin.