REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Utara menyarankan kepada para pelajar SD, SMP, dan SMA agar lebih mencintai hutan mangrove. Apalagi, hutan mangrove yang dijadikan kawasan wisata juga merupakan sarana belajar bagi mereka.
"Sebab, mencintai lingkungan dan alam itu, termasuk mata pelajaran bagi siswa dan harus disosialisasikan para guru-guru di sekolah," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumut Dana Tarigan, di Medan, kemarin.
Menurut Dana, selama ini hutan mangrove yang ada di beberapa daerah di Provinsi Sumatra Utara sudah banyak mengalami kerusakan cukup parah. Penyebabnya adalah pembalakan liar dan alih fungsi hutan mangrove menjadi areal perkebunan sawit serta tambak udang.
"Pemerintah harus menyelamatkan hutan mangrove tersebut dari kerusakan yang dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sengaja mencari keuntungan pribadi, " ujar Dana.
Direktur Konservasi Tanah dan Air pada Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (BPDAS-PS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) M Firman mengatakan, ekosistem mangrove di Indonesia terus mengalami degradasi akibat alih fungsi lahan. Saat ini, kata dia, luas mangrove di dunia sekitar 15 juta hektare. Di Indonesia, terdapat 3,4 juta hektare mangrove dengan 1,8 juta di antaranya atau 54 persen mengalami degradasi.
“Degradasi mangrove akibat berbagai kepentingan, seperti tambak, permukiman, perkebunan, industri, dan infrastruktur pelabuhan.Hal-hal ini yang seringkali mengorbankan keberadaan mangrove,” ujar Firman, di Jakarta.
Meskipun demikian, Firman melanjutkan, sebagai negara yang memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia, Indonesia terus berupaya menjaga kelestarian hutan mangrovenya.Menurut dia, saat ini dibutuhkan rehabilitasi mangrove secara terus-menerus minimal 50 ribu hektare setiap tahunnya. Sayangnya, kemampuan anggaran pemerintah hanya sekitar 500 hektare setiap tahun.
Karena itu, Firman menekankan pentingnya merehabilitasi dan mempertahankan mangrove. Apalagi, mangrove adalah benteng alami dari abrasi. Bahkan, bencana tsunami bisa diredakan jika vegetasi mangrove terjaga baik. Secara ekonomi, mangrove juga menjadi lokasi pemijahan berbagai satwa komersial seperti ikan, udang, dan kepiting.
“Mangrove juga menyimpan karbon lebih banyak daripada hutan daratan. Sehingga perannya pada mitigasi perubahan iklim global sangat penting,” ujar Firman.
Kepala Balai Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL) Jeneberang-Saddang, Muhajir, menyatakan, anggaran yang terbatas membuat pemerintah harus adil dalam pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), seperti kebun bibit rakyat (KBR).
Oleh sebab itu, kata Muhajir, lokasi yang sudah pernah mendapat kegiatan program KBR tak lagi menjadi prioritas. Sebab, banyak lokasi lain yang juga membutuhkan dukungan anggaram pemerintah.
Pada 2017, BPDAS-HL Jeneberang-Saddang merencanakan untuk melaksanakan program KBR sebanyak 30 unit pada wilayah daratan maupun mangrove. "Tiga hingga empat KBR di antaranya untuk rehabilitasi mangrove," kata Muhajir.
Dalam rehabilitasi mangrove, KLHK memberikan bantuan 25 ribu bibit ke per kelompok tani atau masyarakat dalam setahun. Pembagian bibit ini pun harus bergilir bagi kelompok tani yang berbeda. Di tengah keterbatasan anggaran, BPDAS-HL Jeneberang-Saddang menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk melaksanakan RHL. Termasuk dengan BUMN dan swasta yang punya program CSR.
“Sudah ada beberapa kerja sama penanaman pohon dengan BUMN dan swasta. Ini akan kami terus tingkatkan untuk mendukung program RHL,” katanya.
Selain mengajak keterlibatan pihak swasta, Muhajir mengatakan, diperlukan sosialisasi untuk mengubah pola pikir (mind set) masyarakat secara terus-menerus. Masyarakat harus terus diingatkan bahwa menanam dan menjaga lingkungan memiliki arti penting bagi kehidupan generasi anak-cucu kelak. Salah satunya dengan menjaga ekosistem mangrove yang keberadaannya begitu penting.