Jumat 02 Jun 2017 11:16 WIB

Ekosistem Mangrove Terus Mengalami Degradasi

Rep: EH Ismail/ Red: Dwi Murdaningsih
Ilustrasi Penanaman Pohon Mangrove
Foto: Foto : MgRol_93
Ilustrasi Penanaman Pohon Mangrove

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekosistem mangrove di Indonesia terus mengalami degradasi akibat alih fungsi lahan. Direktur Konservasi Tanah dan Air pada Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (BPDAS-PS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) M Firman mengatakan, saat ini luas mangrove di dunia sekitar 15 juta hektare. Di Indonesia, terdapat 3,4 juta hektare mangrove dengan 1,8 juta di antaranya atau 54 persen mengalami degradasi.

“Degradasi mangrove akibat berbagai kepentingan, seperti tambak, permukiman, perkebunan, industri, dan infrastruktur pelabuhan.Hal-hal ini yang seringkali mengorbankan keberadaan mangrove,” ujar Firman, di Jakarta, Rabu (31/5).

Meskipun demikian, Firman melanjutkan, sebagai negara yang memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia, Indonesia terus berupaya menjaga kelestarian hutan mangrovenya.Menurut dia, saat ini dibutuhkan rehabilitasi mangrove secara terus-menerus minimal 50 ribu hektare setiap tahunnya. Sayangnya, kemampuan anggaran pemerintah hanya sekitar 500 hektare setiap tahun.

Karena itu, Firman menekankan pentingnya merehabilitasi dan mempertahankan mangrove. Apalagi, mangrove adalah benteng alami dari abrasi. Bahkan, bencana tsunami bisa diredakan jika vegetasi mangrove terjaga baik. Secara ekonomi, mangrove juga menjadi lokasi pemijahan berbagai satwa komersial seperti ikan, udang, dan kepiting.

“Mangrove juga menyimpan karbon lebih banyak daripada hutan daratan. Sehingga perannya pada mitigasi perubahan iklim global sangat penting,” ujar Firman.

Kepala Balai Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL) Jeneberang-Saddang, Muhajir, menyatakan, anggaran yang terbatas membuat pemerintah harus adil dalam pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), seperti kebun bibit rakyat (KBR).

Oleh sebab itu, kata Muhajir, lokasi yang sudah pernah mendapat kegiatan program KBR tak lagi menjadi prioritas. Sebab, banyak lokasi lain yang juga membutuhkan dukungan anggaram pemerintah. Pada 2017, BPDAS-HL Jeneberang-Saddang merencanakan untuk melaksanakan program KBR sebanyak 30 unit pada wilayah daratan maupun mangrove. "Tiga hingga empat KBR di antaranya untuk rehabilitasi mangrove," kata Muhajir.

Dalam rehabilitasi mangrove, KLHK memberikan bantuan 25 ribu bibit ke per kelompok tani atau masyarakat dalam setahun. Pembagian bibit ini pun harus bergilir bagi kelompok tani yang berbeda. Di tengah keterbatasan anggaran, BPDAS-HL Jeneberang-Saddang menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk  melaksanakan RHL. Termasuk dengan BUMN dan swasta yang punya program CSR.

“Sudah ada beberapa kerja sama penanaman pohon dengan BUMN dan swasta. Ini akan kami terus tingkatkan untuk mendukung program RHL,” katanya.

Selain mengajak keterlibatan pihak swasta, Muhajir mengatakan, diperlukan sosialisasi untuk  mengubah pola pikir (//mind set//) masyarakat secara terus-menerus. Masyarakat harus terus diingatkan bahwa menanam dan menjaga lingkungan memiliki arti penting bagi kehidupan generasi anak-cucu kelak. Salah satunya dengan menjaga ekosistem mangrove yang keberadaannya begitu penting.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement