REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat Brigadir Jenderal (Purn) Anton Tabah Digdoyo menyatakan intoleransi perlu didefinisikan sebelum menyebut bahwa sikap intoleransi adalah cikal-bakal terorisme. Dengan begitu, makna intoleransi pun tidak bias di masyarakat.
"Seharusnya didefinisikan dulu, intoleransi itu apa," kata dia dalam diskusi bertajuk "Membedah Revisi UU Antiterorisme" di restoran Warung Daun, di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/6).
Menurut Anton, orang yang memilih pemimpin seiman jelas tidak dapat dimaknai sebagai sikap intoleran. Sebab, memilih pemimpin seiman merupakan perintah kitab suci bagi umat beragama Islam.
Karena itu, Anton menyatakan, perlu ada pendefinisian intoleransi agar masyarakat tidak mudah menuduh pihak lain intoleran maupun radikal. "Supaya tidak mudah menuduh yang ini intoleran dan radikal," ucap dia.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto menyatakan intoleransi merupakan cikal-bakal tumbuhnya terorisme. Dari sikap intoleransi, dapat tumbuh menjadi radikal hingga kemudian meninggi ke taraf terorisme.
"Ini berawal dari intoleransi, menjadi radikalisme, lalu ke terorisme. Jadi cikal-bakal terorisme itu intoleransi, masalah besar bagi bangsa ini," kata dia.
(Baca juga: Polri Sebut Intoleransi Akar Terorisme)