REPUBLIKA.CO.ID, AFGHANISTAN -- Serangkaian ledakan di ibukota Afghanistan, pada Sabtu (3/6), telah memporak-porandakan upacara pemakaman korban demonstrasi yang tewas sehari sebelumnya. Ledakan ini menewaskan sedikitnya 20 orang dan melukai 35 orang lainnya.
Ledakan terakhir ini mengiringi gelombang kekerasan di Kabul sejak sebuah bom truk meledak, pada Rabu (31/5). Ledakan ini juga meningkatkan eskalasi setelah pihak berwenang memblokir jalan-jalan di Kabul untuk mencegah terulangnya konfrontasi antara demonstran dan polisi pada, Jumat (2/6) kemarin.
Dilansir dari Reuters, Ahad (4/6), kekerasan tersebut didorong oleh kemarahan publik atas ketidakmampuan Presiden Ashraf Ghani memastikan keamanan di Kabul. Hal ini telah memperburuk ketegangan politik antara fraksi-fraksi yang bersaing.
Rumah Sakit Darurat Kabul yang dikelola Italia, yang telah merawat korban luka-luka dalam beberapa hari terakhir, melaporkan ada 19 orang terbunuh. Sekitar 16 lainnya dibawa ke rumah sakit dalam kondisi terluka. Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 87 lainnya cedera.
"Ada suara ledakan dimana-mana dan saya melihat tangan dan wajah saya terbakar," kata salah satu pasien luka bakar, Mohammad Azim.
Ledakan ini terjadi saat pemakaman anak dari Wakil Ketua Senat, Mohammad Alam Izadyar. Ia meninggal setelah mengalami luka serius dalam bentrokan saat demonstrasi hari Jumat kemarin.
Rahmatullah Begana, yang berada di pemakaman tersebut mengatakan bahwa ledakan pertama terjadi saat mullah mengumandangkan adzan pertama untuk shalat dan saat itulah orang-orang berhamburan. "Saya melihat banyak orang terbaring di tanah," ujarnya.
Dalam tiga bulan pertama tahun 2017 ini setidaknya 715 warga sipil terbunuh di seluruh Afghanistan, setelah hampir 3.500 orang terbunuh pada 2016. Presiden Ghani mengeluarkan seruan persatuan. "Negara ini sedang diserang. Kita harus kuat dan bersatu," katanya di media sosial.