REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menilai tindakan main hakim sendiri atau fenomena intimidasi oleh sekelompok tertentu yang marak belakangan ini disebabkan pembiaran secara hukum maupun politik. Perbuatan intimidasi dibiarkan masyarakat politik sehingga kasusnya semakin meningkat.
"Pembiaran secara hukum juga, tindakan penegak hukum minimalis bahkan pada tingkat tertentu di banyak kasus, aparat seperti mengiyakan. Ini menurunkan wibawa kepolisian," kata dia di bilangan Cikini, Jakarta, Ahad (4/6).
Menurutnya pembiaran secara hukum maupun politik ini dinilai berbahaya, karena lama kelamaan tindakan intimidasi bisa kemudian dianggap legal dan biasa saja. Belakangan, kata dia, fenomena intimidasi juga diberi istilah halus sebagai tabayyun.
Padahal menurutnya tabayyun mengandung arti mencari kebenaran dari sebuah peristiwa dengan cara dialog. "Bukan sekelompok datang, terus memaksa minta maaf, itu bukan tabayyun namanya," kata dia.
Di samping itu, ia menyebut perbuatan intimidasi dilakukan dengan dalih korban intimidasi telah melakukan penghinaan, penistaan, seperti terhadap agama atau ulama. Padahal, kata dia, kata menghina itu dibangun berdasar persepsi dan justru lebih banyak unsur subjektif. Karenanya diperlukan penegakan hukum yang lebih diperkuat dan betul-betul serius. Ia menyarankan di RUU Pemilu juga diatur ancaman hukuman lebih berat terkait politik SARA. Menurutnya politik SARA lebih bahaya daripada politik uang.
"Di RUU Pemilu juga perlu ada penguatan semisal untuk penegakan politik SARA dan bila perlu dibuat perlindungan etnis," kata dia.