Selasa 06 Jun 2017 21:15 WIB
Haul Sukarno

Gus Solah: Bung Karno, Gudang yang tak Berjendela

Pimpinan Ponpes Tebuireng, Solahuddin Wahid (Gus Sholah)
Foto: Antara
Pimpinan Ponpes Tebuireng, Solahuddin Wahid (Gus Sholah)

REPUBLIKA.CO.ID, Islam dan kebangsaan tidak bisa dipisahkan. Bahkan, Sukarno terus mendorong agar umat dan pendidikan Islam seperti di pesantren maju untuk meningkatkan taraf kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana hubungan Sukarno dengan pendidikan Islam? Hal itu dijelaskan oleh pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, KH Salahuddin Wahid kepada Wartawan Republika, Rahmat Fajar, Kamis (25/5).

 

Bagaimana Sukarno memandang dunia pendidikan Islam di pesantren? 

Saya pernah membaca pidato Bung Karno ketika mendapat gelar doktor honoris causa dari IAIN Ciputat. Bung karno pidato tanpa teks, saya pernah baca itu Bung Karno mengkritik pesantren. Pesantren dimisalkan sebuah gudang yang besar tidak ada jendela dan pintunya. Terasa pengap. Artinya, pesantren memisahkan dari kemajuan zaman. Waktu itu, Pak Saaifuddin Zuhri sebagai menteri agama yang menjadi promotor menyatakan, kalau ada yang menganggap pesantren tidak ada pintu dan jendela, tentu orang itu tidak memahami di mana letak pintu dan jendela. Itu yang dikritik pesantren 60 tahun lalu. Tentu sekarang berbeda jauh sekali.

Apakah pesantren mendapatkan manfaat dari pemikiran Sukarno?

Bung karno tentunya juga melihat fakta pesantren itu kenyataan hidup di masyarakat dan menghasilkan kiai yang luar biasa. Saya pikir Bung Karno tidak menutup mata tentang itu. Waktu itu banyak pesantren seperti yang dikritik Bung Karno mungkin benar.

Bung Karno belajar banyak dari Islam. Kalau kita pelajari sejarah yang namanya konsep bangsa Indonesia adalah konsep yang tidak mengenal agama. Negara didirikan tidak atas dasar agama, etnis, ataupun suku. Tapi didasarkan pada kesamaan nasib sebagai jajahan Belanda dan mempunyai cita-cita yang sama ingin mendirikan negara berdaulat, negara yang memberikan kesamaan derajat dan adil, tidak diskriminatif, bermartabat. Nah Pak Tjokro yang kemudian dikembangkan oleh Bung Karno adalah orang pertama yang membawa nuansa keagamaan dalam kehidupan bangsa. Dan itu lebih terlihat lagi ketika sidang BPUPKI, kiai-kiai NU banyak yang masuk juga ke pergerakan politik.

Kiai NU waktu itu dan kelompok Islam lain memperjuangkan negara islam. Bung Karno kan memperkenalkan gagasan Pancasila, di mana Islam atau ketuhanan diletakkan pada sila kelima. Rumusannya, ketuhanan yang berkebudayaan, itu istilah Bung Karno. Akhirnya yang kita ambil adalah ketuhanan yang Maha Esa. Pikiran-pikiran Bung Karno tentang Islam memengaruhi orang-orang seusia saya, Cak Nur banyak terpengaruh. Saya ingat ada istilah api Islam. Jangan mengambil abunya Islam tapi apinya Islam. Jadi cita-cita sosialnya, keadilan, kemajuan. Jadi Bung Karno tidak tertarik yang sifatnya ibadah Mahdah gak begitu diperhatikan, tapi yang berkaitan dengan masyarakat.

Apa yang diinginkan Sukarno dari Islam untuk pembangunan bangsa dan negara?

Faktanya bahwa Islam waktu itu mayoritas, dan mayoritas mereka adalah warga yang ada di kampung-kampung yang pendidikannya kurang, dan itu menjadi perhatian Bung Karno bagaimana memajukan mereka. Makanya Bung Karno sering memberikan kritik yang tajam bukan karena Islamnya, (tapi) kepada penerapan Islam dalam kehidupan masyarakat.

Sejauh mana Sukarno memasukkan unsur Islam dalam kemajuan bangsa dan negara?

Tadi kan saya bilang nasionalisme, agama, dan Marxisme itu //kan// satu gagasan yang diperkenalkan ketika Bung Karno muda dan ketika mempunyai kekuasaan dijadikan Nasakom. Jadi dia, Bung Karno melihat Islam dan Marxisme itu bisa dipersatukan. Tapi ternyata gak bisa.

Dalam perjalanan sejarah Bung Karno, adakah kisah menarik dengan NU?

Dengan beberapa ulama NU Bung Karno dekat, dengan Kiai Wahab Hasbullah. Kiai Wahab itu usianya belasan tahun di atas Bung Karno dan sering memberikan saran-saran, seperti ketika Bung Karno akan memberikan pidato di sidang umum PBB. Kiai Wahab memberikan saran-saran, ayat-ayat yang perlu dibicarakan dalam sidang umum PBB. Dan pernah terjadi, NU memberikan gelar waliyul amri daruri bisysaukah karena presiden Republika Indonesia itu di dalam khazanah fikih waktu itu gak dikenal yang ada kan khalifah, amirul mukminin.

Nah sekarang mengaitkannya bagaimana. Jadi diberi gelar itu waliyul amri, pemimpin yang diberi karena keadaan darurat. Membutuhkan pengakuan dari para ulama sebab kalau gak ada itu maka Bung Karno sebagai presiden mengangkat menteri agama, menteri agama mengangkat penghulu  KUA. Kalau gak ada itu, tidak sah perkawinan. Harus mendapatkan legitimasi, ini aturan fikih. Ketika itu dilakukan kepada Bung Karno, ya sudah otomatis kekuatan hukum secara Islam. Mungkin dengan keadaan sekarang tidak relevan. Tapi sekian 60 tahun lalu, relevan tahun 53-an atau 54-an.

Itu menandakan pemikiran Kiai NU waktu itu banyak memengaruhi Bung Karno?

Iya tentunya. Yang menarik begini, kiai NU dan juga Masyumi menolak Pancasila ketika merdeka. Tapi kemudian, menerima Pancasila setelah sila pertama diisi ketuhanan yang Maha Esa. Tetapi pada dasarnya, mereka ingin mendirikan negara Islam. Pertanyaannya, mengapa mereka menolak Pancasila? Karena Pancasila dianggap sekuler. Mengapa dianggap sekuler kerena Bung Karno yang sering diambil contoh kan Kemal Attaturk. Dan Kemal Attaturk jelas sekuler bahkan menghalang- halangi dakwah, madrasah, antiagamalah.

Tapi, berdamainya Islam atau perpaduan Islam dengan Indonesia, keislaman dan keindonesiaan yang paling awal, ya ketika menerima Pancasila dengan sila ketuhanan yang Maha Essa. Kedua, ketika Kiai Hasyim Asyari, kiai-kiai NU memfatwakan resolusi jihad. Istilah keagamaan dipergunakan untuk kehidupan kebangsaan. Ketiga, ketika didirikan Kementerian Agama. Jadi tahun 45, ada tiga peristiwa yang menunjukkan Islam dengan Indonesia nyambung, terpadu. Kemudian diikuti banyak hal lain, antara lain, saya ingat tahun 50-an menag, Wajid Hasyim, dan mendikbud MoU kemudian diakuilah sekolah agama yang namanya madrasah, ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah. Itu langkah memasukkan pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional.

Berikutnya, ketika pemerintah akhirnya menyetujui usul ulama sehingga UU perkawinan menjadi UU pertama, yang memuat hukum Islam yang partikular. Di ayat kedua, UU perkawinan mengatakan bahwa perkawinan adalah sah kalau dilakukan menurut aturan agama masing-masing. Dan selanjutnya, kita tahu Pancasila diterima oleh NU, UU perbankan, perbankan syariah, wakaf, zakat, dan seterusnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement