REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua PBNU Bidang Hukum Robikin Emhas menilai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan bagian dari "ikhtiar" (usaha) agar media sosial tidak menjadi faktor "destruksi" (merusak) sosial.
"Yang dilakukan MUI adalah bagian dari ikhtiar agar medsos tidak menjadi faktor 'destruksi' sosial," kata Robikin melalui pesan singkatnya di Jakarta, Rabu (7/6). Menurut dia, jika faktor "destruksi" sosial dari medsos ini tidak dicegah, maka bisa menurunkan "kohesivitas" (keinginan untuk mempertahankan) kebangsaan masyarakat Indonesia.
MUI telah mengeluarkan fatwa hukum dan pedoman dalam beraktivitas di media sosial (medsos) yang telah ditetapkan pada 13 Mei 2017. Dalam Fatwa tersebut diantaranya dinyatakan haram bagi setiap Muslim dalam beraktifitas di media sosial melakukan "ghibah" (menggunjing), fitnah (menyebarkan informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran), adu domba (namimah), dan penyebaran permusuhan.
Fatwa tersebut mengharamkan setiap Muslim melakukan "bullying", ujaran kebencian dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan. Fatwa itu juga mengharamkan bagi setiap muslim untuk menyebarkan "hoax" serta informasi bohong, menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan dan segala hal yang terlarang secara syar'i dan menyebarkan konten yang benar namun tidak sesuai tempat dan waktu.
Fatwa menyatakan memproduksi, menyebarkan dan atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram. Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan syar'i.
MUI menyatakan haram memproduksi dan menyebarkan konten informasi yang bertujuan membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak. Selain itu menyebarkan konten pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.
Begitu pula aktivitas "buzzer" di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun nonekonomi hukumnya haram, termasuk didalamnya orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya.