REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Terorisme hari ini menggelar rapat lanjutan. Pada rapat kali ini mereka masih membahas fungsi penindakan Densus 88 dan penyidik Polri. Kemudian soal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.
Rapat dipimpin Ketua Panja RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, M Syafii dan dihadiri oleh tujuh anggota dari enam fraksi. Menurut anggota Pansus RUU Terorisme, Risa Mariska, saat ini pihaknya tengah mengkaji pelibatan TNI dalam dalam pemberantasan terorisme.
Mariska mengaku tidak ingin memasukkan TNI dalam pemberantasan terorisme, jika itu membuat kewenangan baru bagi TNI. Sebab, penegakan hukumnya juga harus dipikirkan. "Kalau TNI masuk maka tidak dapat lagi menggunakan penegakan hukum. Karena di Indonesia menggunakan justice system," jelas Politikus Partai PDI Perjuangan, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/6).
Mariska menjelaskan, penerapan hukum Indonesia berbeda dengan negara-negara lainnya. Dia mencontohkan penegakan hukum di Negara Jiran Malaysia yang sistemnya berkolaborasi antara dua sistem penegakan hukum dengan militer. Sementara di negara-negara besar seperti di Eropa, mereka menggunakan mayoritas menggunakan criminal justice system.
"Saya kira tidak menjadi masalah, kalau Indonesia menggunakan criminal justice system dalam pemberantasan terorisme," tambahnya.
Hanya saja, dalam aturannya harus ada batasan kewenangan tertentu. Misalnya jika ada tindak terorisme di pesawat, atau terorisme di Istana Presiden itu menjadi kewenangan TNI, karena Densus 88 atau kepolisian memang tidak bisa menjangkaunya.
Namun, Mariska menilai apa yang menjadi keinginan pemerintah adalah pelibatan TNI itu sebatas perbantuan sesuai undang-undang yang berlaku. Dalam hal ini, undang-undang Nomor 34 tahun 2004. "Jadi kita kan tidak bisa menabrak undang-undang yang berlaku. Nah dalam UU TNI itu diatur operasi militer selain perang. Kemudian ini yang menjadi acuan kita," kata Mariska.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto secepatnya menuntaskan revisi undang-undang anti-terorisme (UU nomor 15 tahun 2003). Dia juga meminta keterlibatan TNI dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang Terorisme yang hingga kini masih dibahas di DPR RI.
Jokowi juga meminta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengantisipasi penyebaran paham radikal di sekolah, tempat ibadah, penjara, maupun media sosial.