REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pilkada (DKPP), Nur Hidayat Sardini, mengatakan lebih dari 50 persen pelanggaran kode etik penyelenggara Pilkada terjadi Provinsi Papua. Proses non-elektoral turut mempengaruhi tingginya pelanggaran tersebut.
"Sekitar 64 persen pelanggaran kode etik oleh penyelenggara terjadi di Provinsi Papua. Ada faktor terkait persoalan kepemiluan dan nonkepemiluan yang mempengaruhi hal itu," kata Nur kepada wartawan di Kantor DKPP, Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (7/6).
Dari segi jumlah pengaduan terhadap dugaan pelanggaran kode etik oleh penyelenggara, Provinsi Papua memang menduduki peringkat tertinggi. Hal tersebut terus terjadi dari tahun ke tahun.
Adapun pelanggaran kode etik yang sering dilakukan penyelenggara adalah keberpihakan dan perlakuan yang tidak setara kepada para calon kepala daerah. Padahal, jika terbukti melakukan keberpihakan, penyelenggara harus dikenai sanksi berat yakni pemecatan.
Sementara itu, di luar pemilu, kondisi sosial masyarakat ikut mendorong pelanggaran. Nur mencontohkan penyelenggara akan dikucilkan masyarakat jika tidak mau mendukung calon tertentu. "Ada satu kejadian di mana penyelenggara mengaku senang setelah DKPP memutuskan dia dipecat. Sebab sebelum dipecat dia mengaku dikucilkan oleh masyarakat adat," kata Nur.
Selain Papua, DKPP mencatat pelanggaran kode etik terbanyak terjadi di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Nur mengingatkan, jika potensi pelanggaran kode etik penyelenggara lebih kompleks pada Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu Serentak 2019.