REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan memeriksa obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sjamsul Nursalim, di Singapura. KPK membutuhkan keterangan Sjamsul sebagai saksi tersangka kasus dugaan korupsi BLBI, Syafruddin Arsjad Temenggung.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan membuka kemungkinan akan memeriksa Sjamsul di tempatnya menetap saat ini, Singapura. "Kami pelajari lagi, bisa saja (memeriksa Sjamsul di Singapura)," kata dia di kantor KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (8/6).
Sjamsul adalah pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang merupakan salah satu perbankan penerima BLBI. Keterangan Sjamsul diperlukan terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diterima BDNI dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 2004.
KPK sempat memanggil Sjamsul untuk dimintai keterangan. Namun, Sjamsul tidak datang. Basaria mengatakan KPK bakal mempelajari ketidakhadiran Sjamsul itu. KPK mengakui saat ini Sjamsul berada di Singapura.
Kasus dugaan korupsi ini bermula ketika Syafruddin yang menjabat sebagai ketua BPPN sejak April 2002 menyampaikan usulan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada Mei 2002.
Isi usulannya agar KKSK menyetujui perubahan terkait proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor BDNI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Hasil restrukturisasi itu adalah Rp 1,1 triliun yang dinilai sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak. Sisanya, yakni Rp 3,7 triliun, tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Dengan demikian, ada kewajiban obligor BDNI sebanyak Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan.
Namun, pada april 2004, tersangka mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban (SKL) pemegang saham terhadap Sjamsul selaku pemegang saham mayoritas, atas kewajibannya terhadap BPPN.
SKL tersebut semestinya dikeluarkan setelah perbankan dapat melunasi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). "Seharusnya yang namanya keterangan lunas itu, lunas dulu baru dikeluarkan SKL tadi," ujar Basaria pada 24 April lalu.
Menurut KPK, pemberian SKL kepada BDNI ini semestinya tidak dilakukan karena bank tersebut belum melunasi penyerahat aset kepada BPPN sebesar Rp 3,7 triliun. "Pemberian SKL ini diberikan tidak seharusnya karena memang belum lunas," kata Basaria.